Artikel karya Ufen ini menjelaskan bagaimana dinamika partai politik pada tahun 1950 dengan karakteristik aliran yang kuat dan kemunduran partai politik aliran pasca jatuhnya Suharto pada tahun 1998. Ufen memaparkan masa emas politik aliran di Indonesia terjadi pada tahun 1950an, di mana pada saat itu Indonesia memiliki banyak gerakan sosial yang sekaligus juga menjadi gerakan partai politik. Dalam menjelaskan karakteristik aliran partai politik, Ufen mengambil gagasan dari Geertz terkait Abangan, Santri dan Priyayi. Gagasan Geertz terkait Abangan, santri dan Priyayi inilah yang menjadi dasar terbentuknya aliran dalam partai politik.
Untuk memudahkan pembaca dalam melihat kejayaan politik aliran, Ufen mengambil contoh kasus pemilu tahun 1955. Dari hasil pemilu 1995, Ufen menjelaskan bahwa kemenangan 4 partai besar yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI tidak terlepas dari kekuatan politik aliran pada saat itu. Politik aliran yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat menjadi salah satu penyebab kuatnya partai politk pada saat itu. Dalam artikel ini Ufen juga menjelaskan penemuannya terkait adanya karakteristik yang sama antara pemilu tahun 1955 dengan pemilu tahun 2004 dan 2009, yang mana hasil temuan tersebut menjelaskan bahwa partai politik di Indonesia sebagian besar masih memiliki karakteristik politik aliran, hanya saja kekuatan politik aliran tidak terlalu kuat seperti tahun 1950an. Ufen menganggap bahwa politik aliran pada partai politik saat ini mengalami pelemahan, Ufen menyebutnya dengan dealiranisasi dan 'Filipinanisasi' (karena gejala partai politik di Indonesia hampir sama dengan partai politik di Filipina).
Keseluruhan artikel dan gagasan yang ditulis oleh Ufen sangat menarik dalam menggambarkan dinamika politik aliran dalam mempengaruhi sistem kepartaian di Indonesia, akan tetapi ada satu hal kurang sesuai yaitu pada bagian dimana Ufen mengkomparasikan partai politik di Indonesia dengan partai politik di Filipina. Menurut saya sebagai pembaca, istilah 'Filipinanisasi' dengan menyamakan kondisi partai politik di Indonesia dan di Filipina cenderung kurang relevan. Walaupun Indonesia dan Filipina merupakan sama-sama negara Asia Tenggara, akan tetapi untuk menyamakan kondisi partai politik tentunya kurang relevan, karena dari segi wilayah, karakteristik masyarakat dan perkembangan agama yang mempengaruhi ideologi partai politik di Indonesia sangat berbeda dengan kondisi di Filipina. Mungkin dengan tidak membandingkan antara Indonesia dan Filipina akan lebih baik dan lebih terfokus pada dinamika partai politik aliran di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H