Mohon tunggu...
Meilani Pardede
Meilani Pardede Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate

S1 Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karoshi: Kerja, Kerja, Meninggal

7 Oktober 2021   00:04 Diperbarui: 7 Oktober 2021   00:09 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila berbicara soal Jepang, apa yang pertama kali muncul di dalam benak? Negeri yang menjaga budaya tradisional, tetapi juga sulit meragukan kualitas produk modern mereka. Di balik hasil perkembangan teknologi spektakuler dari Jepang, terdapat karyawan-karyawan yang bekerja tanpa imbalan setimpal.

Kematian bukan jadi hal asing apabila manusia memaksakan diri beraktivitas di luar batas kemampuannya. Namun, fenomena kelam tersebut merupakan bagian dari kehidupan pekerja di Jepang. Etos kerja berbentuk komitmen untuk menang dalam persaingan pada akhirnya berujung pada karshi.

Apa Itu 'Karshi'?

Karshi berasal dari kata "kar" yang berarti kerja paksa, dan "shi" yang berarti kematian. Singkatnya, karshi adalah kemaian akibat terlalu banyak bekerja. Karshi adalah sebutan fenomena di Jepang yang terkenal akan budaya kerja dengan durasi berlebihan namun dengan durasi libur, cuti, atau istirahat yang sangat minim. Pola kerja demikian menciptakan stres dan mengakibatkan penyakit jantung dan stroke pada pekerja.

Kasus Karshi dari Masa ke Masa

Karshi pertama terjadi pada tahun 1969. Seorang pria yang bekerja di Departemen Surat Kabar di Jepang harus meregang nyawa di usia 29 tahun. Kematian mendadaknya disebabkan oleh stroke. The Workers Compensation Bureau of Japan's Ministry of Labor menganggap durasi kerja berlebih adalah penyebab kematian pria tersebut.

Kondisi fisik yang terganggu bukan satu-satunya dampak akibat jam kerja yang tidak masuk akal. Stres sebagai bentuk kelelahan secara mental juga menjadi faktor seseorang harus mengalami karshi, seperti bunuh diri yang dilakukan oleh seorang pekerja kontrak Badan Antariksa Jepang (JAXA) pada tahun 2016. 

Pada saat itu, Yukinobu Sato bekerja sebagai kontraktor pada proyek satelit untuk JAXA. Dikutip dari BBC, pria berusia 31 tahun itu dikatakan mengalami tekanan kerja ekstrem. Laporan menambahkan bahwa dia diberi target yang tak bisa dicapai, bekerja lebih dari 70 jam lembur tetapi tidak mendapat bayaran dalam sebulan.

Kasus lain terjadi pada jurnalistik politik, Miwa Sado, yang didiagnosis gagal jantung setelah bekerja 159 jam dalam sebulan pada Juli 2013. Dikutip dari suara.com, berita mengenai kematian Miwa Sado baru diumumkan pada awal Oktober 2017. Laporan Indendent menyatakan bahwa ia diketahui hanya mengambil dua hari libur dalam sebulan penuh dan akhirnya meninggal dengan alasan karshi.

Mengapa Karshi sangat Marak dan Lazim di Jepang?

Etos kerja tinggi adalah label lumrah yang melekat pada pekerja di Jepang. Bekerja seharian di kantor merupakan hal relevan, sampai urusan kehidupan pribadi seperti menikah, berpacaran, berlibur, bersosialisasi, dan berkumpul dengan keluarga tidak memiliki kesempatan untuk dijadikan prioritas.

Bagi para karyawan Jepang, pulang lebih cepat atau sampai di rumah tepat waktu bisa mengundang tudingan bahwa keputusan itu menunjukkan ketidaksetiaan pada perusahaan. Dikutip dari CNN, anggapan demikian yang membuat mereka memilih untuk meninggalkan kantor setelah bekerja selama delapan jam.

Bekerja setengah-setengah membuat para karyawan takut dipecat, sehingga mereka memaksakan diri untuk terlihat produktif di depan atasan. Harapan akan kenaikan gaji dan tingkat karir lebih tinggi membuat pekerja lalai akan kondisi tubuh mereka. Pada kenyataannya, usaha keras tersebut tidak selalu membuahkan hasil. Banyak usaha mereka berujung sia-sia dengan perolehan imbalan tak seimbang meski telah mengambil jadwal lembur di luar batas.

Dampak Menonjol Karshi di Jepang

Terungkap bahwa populasi Jepang mengalami penurunan selama sepuluh tahun berturut-turut. Dikutip dari hidayatullah.com, Jepang tercatat memiliki populasi sekitar 126.420.000 penduduk pada tahun 2018 lalu. 900.000 bayi lahir di Jepang pada tahun 2017, namun di tahun itu juga sebanyak 1,3 juta penduduk meninggal dunia. 

Dapat dikatakan bahwa populasi kematian di Jepang lebih tinggi daripada angka kelahirannya. Diperkirakan jumlah kelahiran di Jepang akan terus mengalami penurunan. Ditambah oleh tingkat kasus bunuh diri yang cukup tinggi di negeri sakura tersebut, Jepang menempati peringkat 30 dalam daftar negara dengan tingkat bunuh diri terbanyak di dunia.

Bagaimana Pemerintah Jepang Menanggapi Kasus Karshi?

Fenomena karshi yang semakin membludak membuat Pemerintah Jepang membuat kampanye bernama "Jumat Premium" di tahun 2017, di mana karyawan boleh menyelesaikan pekerjaan pada Jumat terakhir setiap bulan. Kebijakan lainnya adalah  membatasi jam lembur dengan total maksimal 30 jam setiap bulan. Namun, diketahui bahwa pada Mei 2017 terdapat lebih dari 300 perusahaan melanggar undang-undang ketenagakerjaan tersebut.

Pada tahun 2014, pengadilan di Tokyo menyuruh restoran membayar kompensasi 58 juta yen kepada keluarga mantan manajer salah satu outlet-nya yang gantung diri pada 2010. Dikutip dari CNN, dokumen pengadilan menunjukkan bahwa pria itu bekerja hampir 200 jam per bulan selama tujuh bulan sebelum ia menghembuskan napas terakhir. Hakim menilai kekejaman itu dengan sebutan "pelecehan kekuasaan" karena membiarkan korban menderita sakit mental.

Perusahaan besar otomotif di Jepang ikut mendukung pembatasan waktu kerja oleh pemerintah. Mereka mulai memerhatikan kesehatan para pegawai dengan memberi arahan agar pulang setelah pukul 19.00 atau diperbolehkan kembali lebih cepat jika memiliki anak kecil di rumah. Kebijakan itu berhasil menekan kasus karshi meski tidak signifikan.

Kemudian, pada April 2019, kantor berita Kyodo mengumumkan undang-undang tentang pembatasan kerja lembur hanya 45 jam sebulan dan 360 jam setahun. Jika melanggar peraturan, pihak perusahaan harus membayar denda hingga 300.000 yen (Rp38.000.000).

Perusahaan teknologi Microsoft, turut mencanangkan pola kerja empat hari dalam seminggu pada tahun 2019 lalu. Setiap hari Jumat pada bulan Agustus, kantor harus libur dengan tujuan 2.280 karyawan memperoleh waktu lebih banyak untuk istirahat. Dikutip dari detikHealth, strategi tersebut berhasil meningkatkan produktivitas hingga 40%, lebih baik daripada periode yang sama di tahun sebelumnya. 

Di samping itu, pemotongan waktu rapat dan menjawab email juga menjadi tambahan kebijakan sebelum Microsoft memulai analisis lain pada tahun yang sama. Dikutip dari CNN, mereka ingin pekerja menyalurkan ide mengenai cara meningkatkan keseimbangan kehidupan kerja, efisiensi, dan bagaimana cara mengajak perusahaan lain agar ikut menerapkannya.

Pemerintah Jepang juga telah menetapkan parameter untuk penduduk meninggal karena karshi. Dikutip dari liputan6.com, untuk kasus bunuh diri, seseorang bisa mengajukan klaim kompensasi karshi bila korban bekerja minimal 160 jam lembur dalam sebulan atau lebih dari 100 jam lembur selama tiga bulan berturut-turut. 

Keluarga Mina Mori (26) mendapat kompensasi sebesar 130 juta yen pada Desember 2015 dari pengelola Watami, sebuah jaringan restoran ternama di Jepang, atas kasus bunuh diri karena bekerja lembur berlebihan. Mori bunuh diri pada Juni 2008 setelah menempuh dua bulan masa bekerja. Meski baru sebentar, ia sudah dipaksa bekerja panjang sampai memiliki sedikit sekali kesempatan untuk beristirahat.

(sumber: detikHealth.com)
(sumber: detikHealth.com)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah mengakui bahwa stres akibat kerja adalah penyakit serius. Dalam rapat di Jenewa pada Mei 2019 lalu, WHO mengakhiri perdebatan mengenai definisi burnout atau kehilangan semangat bekerja untuk mengakhiri debat panjang. 

Dilanjutkan pada International Clssification of Disease (ICD) terbaru, WHO mendefinisikan burnout sebagai 'sindrom yang dikonseptualisasi sebagai hasil dari stres kronis di tempat kerja yang tidak terkelola dengan baik'. 

Dikutip dari detikHealth, sindrom tersebut ditandai dengan tiga hal. Pertama, kehilangan energi dan kelelahan. Ke dua, makin ada jarak dengan pekerjaan seseorang atau perasaan negatif maupun sinis terkait pekerjaan seseorang. Ke tiga, berkurangnya efikasi profesional.

Referensi

satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun