Beberapa hari yang lalu seorang rekan uring-uringan di tempat kerja. Ceritanya minggu lalu dia diminta oleh dinas pendidikan kabupaten tempat sekolah kami bernaung untuk mengikuti sebuah pelatihan selama 5 hari di propinsi. Lalu diikutinya pelatihan itu.
Lima hari berlalu. Rupanya tak muncul juga tembusan surat tugas dari dinas kabupaten ke tempat kami kerja. Atasan kami tak tahu menahu tentang penugasan tersebut. Teman saya tersebut dinilai melalaikan tugas mengajar selama 5 hari berturut-turut tanpa keterangan. Bahkan katanya atasan kami tersebut sampai menghubungi ketua MGMP bidang studi yang terkait. Menanyakan benar ada atau tidaknya pelatihan yang dimaksud. Tentu saja ketua MGMP tak tahu menahu karena memang bukan beliau yang mengeluarkan surat tugas tersebut. Atasan kami juga melaporkan teman saya tersebut ke pengawas sekolah. Situasi jadi panas. Teman saya tak terima dilaporkan seperti itu. Dia merasa terzholimi katanya. Wah.
Saya ingat beberapa waktu lalu hal serupa juga pernah menimpa suami saya. Masih dalam versi yang sama. Masih dalam satu kabupaten juga. Suami dapat tugas dari dinas pertanian kabupaten setempat untuk mengikuti sebuah pelatihan kedinasan di propinsi. Setelah surat tugas sampai di tangan, maka suami saya pun langsung menghubungi atasannya. Menyampaikan kalau esok paginya akan mengikuti pelatihan di propinsi selama beberapa hari. Tak disangka bukan ijin yang diterima, tapi himbauan untuk tidak menghadiri pelatihan tersebut. Alasannya tidak ada salinan/ tembusan surat tugas kepadanya sebagai kepala badan setempat. Sang kepala badan merasa sudah dilangkahi keberadaannya oleh dinas terkait. Merasa sudah melakukan prosedur yang benar dengan mengabari sang atasan terlebih dahulu, suami saya sempat bingung. Saya pun ikut bingung jadinya. Bagaimana tidak, segala macam perlengkapan sudah saya siapkan dalam koper besar. Mulai dari pakaian, charger handphone, laptop, sampai cemilan kesukaan suami sudah rapi tertata dalam koper tersebut. Eh ternyata tak jadi berangkat. Penasaran juga saya, bisa bisanya dua institusi yang saling "bersaudara" sampai tidak klop begitu.
Dua peristiwa tersebut mengingatkan saya pada sebuah teori kebutuhan. Teori Maslow. Konon menurut Maslow, kebutuhan aktualisasi diri akan muncul setelah kebutuhan penghargaan tercapai. Saya pun membuat analisis sederhana. Jika seseorang merasa tak dihargai maka akan muncul sikap tidak suka terhadap sesuatu hal. Mungkin inilah simpul penyebab berlakunya aktualisasi diri yang tidak diinginkan atasan kami dan sang kepala badan tempat suami bekerja. Pada kasus suami, untunglah ada feedback yang terjadi. Ada itikad untuk mengonfirmasi surat tugas dan meminta ijin atasan terlebih dahulu. Jalan cerita menjadi berbeda. Saat ijin atasan tidak didapat, suami menelepon kepala UPT dinas pemberi tugas. Kebetulan sekali respon yang didapat cukup melegakan. Rupanya tembusan surat penugasan suami dari dinas untuk sang kepala badan sebenarnya sudah dibuat, namun belum sampai ke kantor suami. Masih ditangan kurir pengantar surat.
Hal yang menarik terjadi. Sang kepala UPT mengonfirmasi hal ini pada atasan suami. Maka pucuk dicinta ulampun tiba. Piil pesenggikhi melunak, ijin didapat. Maka selesailah perkara.
Kembali pada pokok masalah yang menimpa teman saya. Agak unik rasanya menilai masalah yang satu ini. Setahu saya, saat garis koordinasi dan komunikasi yang baik dan benar terjalin maka semua akan berjalan lancar. Konsep yang satu ini mungkin belum terlaksana dengan baik. Teman saya tetap mempertahankan argumennya. Bahkan foto-foto saat dia mengikuti pelatihan tersebut pun dijadikannya bukti keikutsertaannya pada acara tersebut. Waduh. Jangan-jangan teman saya belum menyadari sedikit kekeliruannya. Pandangannya tak perlu serumit itu. Esensi perkara ini sederhana saja. Sikap keras atasan sepertinya hanya ingin menunjukkan "hei, akulah pimpinanmu..!".
Sebenarnya mudah saja menurut saya. Mintalah maaf pada atasan. Akui saja kemarin lupa mengabari karena mengira surat tembusan sudah diterima atasan. Biarlah nanti urusan prosedur penugasan dan salinan surat yang belum nongol menjadi urusan kepala sekolah dengan UPT dinas pendidikan setempat. Biarlah mereka yang menyelesaikannya. Bukan kita. Lagipula urusan kita hanya mengikuti pelatihan sesuai yang diinstruksikan pemberi tugas. Pelatihan yang diikuti pun sifatnya positif. Punya tujuan meningkatkan profesionalitas dan kinerja.
Sampai sekarang tembusan surat tugas dari dinas belum nampak di tempat kami kerja. Belum jelas juga apakah perkara saling tidak dihargai ini sudah selesai atau belum. Yang jelas, lingkungan kerja ditempat kami jadi sedikit terpengaruh. Ada yang merasa nama baiknya dilecehkan. Ada masalah yang belum selesai. Saya cuma menduga saja, mungkin keakraban bersama antar institusi dan antar atasan-bawahan perlu lebih ditingkatkan lagi. Kalau ingin semuanya berjalan baik, garis koordinasi jangan sekadar dijadikan pajangan saja di ruang-ruang kantor semua institusi negeri ini. Tapi hendaknya dijadikan pedoman pelaksanaan semua kegiatan. Tak kalah pentingnya sikap menyadari kesalahan dan sikap legowo untuk meminta maaf. Setiap amarah pastilah akan tunduk pada kata maaf yang tulus. Buanglah ego jika kekeliruan memang ada pada kita. Sederhana saja. Bukankah sedari kecil kita dilatih untuk meminta maaf setelah melakukan kesalahan?
Oktober, 2013
Note:
1. Piil pesenggikhi; pedoman masyarakat adat lampung dalam berperilaku, bersikap, dan bergaul sesuai dengan nilai-nilai dan tatanan moral dalam interaksi sosial.