Aku memperhatikan video dari seorang kawan di monitor ponselku, nampak di sana air keruh, deras, dan kencang menerjang rumah-rumah penduduk. Sepertinya peristiwa itu terjadi di bantaran sungai yang terletak di kaki bukit.Â
Aku menggeser layar ke bawah, jalan-jalan kota digenangi air, setinggi dada orang dewasa. Di tempat lain, ada sekoci-sekoci yang digunakan untuk mengevakuasi warga yang rumah mereka hampir tenggelam.
"Alhamdulillah..... Mengevakuasi diri secara mandiri menembus Jalan Moh. Yamin 2 sampai ke Jalan Diponegoro, rasanya sangat mencekam seperti menembus jalan yang sangat jauh padahal hanya berjarak 100 meter dan airnya berarus, tinggi air rata-rata sampai di dada orang dewasa. Akhirnya kami sampai ke Gelael dan mendapat tumpangan mobil pick up sampai di tujuan ke Jalan Sulawesi. Terimakasih yang tak terhingga buat pemilik mobil yang sudah bersedia memberi tumpangan, semoga kita semua dilindungi dari mara-bahaya dan bala-bencana. Allah sayang, Allah jaga." (Ekke Bachmid).Â
Semua ini adalah postingan sahabat-sahabatku di salah satu aplikasi media sosial jaringan pertemanan yang aku ikuti.
Aku menarik napas panjang, sesak rasa dada ini karena peristiwa banjir besar itu terjadi di kota di mana aku dibesarkan, Hulondalo Lipu'u atau Kota Gorontalo yang saya sangat cintai.
Aku teringat rumah saat masih bersekolah dulu yang terletak di jalan Sarini Abdullah, jalan yang namanya diambil dari seorang Qoriah, juara MTQ tingkat nasional pada tahun 1980-an yang rumahnya dibangun sebagai hadiah dari pemerintah Kotamadya Gorontalo (saat itu Gorontalo masih merupakan wilayah Sulawesi Utara). Pada waktu itu jalan dimana rumahku berada belum bernama. Sejak itu, jalan itu disebut Jalan Sarini Abdullah.
Saat aku menghabiskan masa sekolah di sana sampai di tingkat SMA kemudian pindah ke Manado, halaman rumahku itu tidak pernah kebanjiran apalagi sampai air masuk ke dalam rumah meskipun berhari-hari hujan turun. Air yang mengguyur dari awan-awan kelabu ke bumi, bisa diserap dengan baik oleh tanah.
Di akhir tahun 1990-an dan awal 2000-an. Mendiang ayahku mengatakan bahwa dengan hujan sedikit saja bisa membuat air naik dan menggenangi halaman rumah. Hal itu terjadi sejak area belakang rumah kami yang dahulunya sebagai area persawahan, dibangun perumahan warga oleh pengembang properti.
"Tambo"Â sebagai sebutan atau bahasa Gorontalo untuk kuala-kuala kecil yang dahulunya terdapat pula di area persawahan itu, tempat dimana aku dan kakak bersama teman-teman tetangga sepermainan di masa masa kecil menghabiskan waktu sore dan masa libur dengan memancing dan mandi-mandi setelah bermain di tumpukan jerami, telah berubah menjadi parit-parit kecil bersemen.
Bagi orang awam pun, ini bisa dipahami bahwa banjir di lokasi sekitar perumahan disebabkan salah satunya karena sistem drainase yang buruk. Meskipun sistem drainase bukanlah satu-satunya hal penyebab banjir.