Mohon tunggu...
Mei Hidaningrum
Mei Hidaningrum Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

berasal dari kota gadis yg kini berjuang d kota pahlawan penyuka sastra dan sejarah . saat ini sibuk kuliah di fakultas kedokteran hewan universitas airlangga 2012, berharap mampu menjadi penulis yang menginspirasi dunia http://twitter.com/meihidaningrum

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menelusuri Jalan "Pulang" Sebuah Novel dari Tere Liye

27 Desember 2015   13:40 Diperbarui: 27 Desember 2015   14:21 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkisah seorang anak kampung sederhana yang hidup sangar di dalamnya rimba Sumatra bersama mamak dan bapaknya. Bujang namanya, perawakannya tinggi kulitnya hitam dan sudah kenyang akan pukulan rotan bapaknya bila ketahuan belajar agama.

Tiada pernah si Bujang mengenyam pendidikan formal selama di kampung. Kemampuan baca tulis hitung dia dapat dari ajaran Mamak.

Hingga tiba rekan pemburu dari ibu kota provinsi ,sang pemimpin regu karib lama dengan Bapak Bujang meminta ijin agar Bujang dibolehkannya bertarung mendapatkan buruan babi besar. Tak semudah ijin terucap, terutama dari Mamak si Bujang dengan satu dua tiga syarat, masuklah mereka menemui gelapnya alam rimba, menjumpai seekor raja babi hutan bermata merah yang bahkan lebih besar dari seekor pedet anak sapi. Pertarungan hidup dan mati Bujang bersama rekan pemburu menumbuhkan rasa keberanian yang tebal hingga tiada urat takut dalam diri Bujang. Dari sinilah berawal julukan seramnya si Babi Hutan.

Kepiawaian bujang di alam rimba, membuat Tauke,sang pemimpin regu pemburu membawa Bujang jauh ke ibu kota dengan janji pendidikan dan masa depan yang baik. Lagi lagi dengan hati pilu tentunya Mamak mampu melepas anak semata wayangnya itu merantau ke ibu kota.

Di tanah rantau inilah Bujang memulai langkah hidup bersama Keluarga Tong yang dipimpin Tauke. Terbiasa hidup keras, dia terjerumus dalam dunia ekonomi hitam dan gelap, dimana rupiah dan angka angka hanya seperti permainan remeh temeh penuh intrik serta strategi persuasif publik. Adu jotos maupun simbah darah adalah harga dari beberapa keputusan.

Bujang melanjutkan sekolah di sekolah terbaik dan kampus terbaik di ibu kota sembari melatih fisik menjadi tukang pukul.
Pertarungan dan peristiwa hebat nan menegangkan dia alami selama hidupnya.

Hingga bujang pun pelan pelan kehilangan benteng keberanian nya. Satu persatu rasa takut itu menjumpai, hingga roboh sudah pertahanan bujang pada dirinya sendiri karena dia merasa tiada tempat baginya untuk pulang pada kehidupan ini.

Kesetiaan kehormatan dan harga diri membawa Bujang pada jawaban pertanyaan-pertanyaan nya, terutama kebenciannya terhadap suara adzan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun