Mohon tunggu...
Meidyna Arrisandi
Meidyna Arrisandi Mohon Tunggu... profesional -

So good to be alive, not just breathing!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rebo Bingung

10 April 2012   14:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:47 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rebo bingung. Teman-temannya senang kalau diajak berlibur di rumah kakek-nenek mereka. Rebo bukannya tidak senang menginap di rumah simbah, ia cuma bingung karena selalu tak bisa tidur kalau malam. Di rumah simbah seru, tapi tak seru lagi bila malam tiba. Dengan posisi apapun, tidur dengan siapapun, Rebo tetap tak bisa memejamkan mata sebelum jam dinding yang berbentuk dan berbunyi menyeramkan itu berdentang lima kali. Betapa menyiksanya.

“Pak, boleh tidak selama liburan ini dari pagi sampai sore Rebo di rumah simbah, tapi malamnya Rebo pulang?” Ibunya yang mendengar pertanyaan itu tersenyum. “Lha kenapa to? Katanya mau main di sawah sama simbah? Lagian mana sanggup bapakmu antar-jemput kamu tiap hari wong rumah simbah kan cukup jauh dari rumah kita.” Rebo merengut. “Ya Pak ya? Gimana, Pak?” Bapaknya menyereput kopi yang dihidangkan Bune Rebo. “Gak bisa begitu, Le. Rumah simbah sekitar 35 kilo dari sini. Memangnya kenapa? Sini cerita sama bapak.” Rebo makin merengut, berlalu meninggalkan bapak-ibunya yang saling pandang.

Rebo termangu di depan jendela kamarnya. Memandangi pot-pot bunga soka warna-warni yang ditata rapi oleh ibunya di halaman depan rumahnya yang luas. Ada yang masih kecil, ada yang sudah jadi pohon besar beberapa jumlahnya di pinggir taman. Dari jendela kamarnya ia bisa melihat pagar rumahnya yang berwarna cokelat kehitaman karena sudah lama dan karatan sambil melihat orang lalu-lalang. Ia menimbang-nimbang. Kalau menghabiskan liburan seminggu di rumah, ia tak punya teman karena teman-temannya juga pergi berlibur. Kalau berlibur di rumah simbah, apa iya dirinya bakal tak tidur seminggu penuh. Lagi pula, bermain di sawah dan naik kerbaunya simbah itu lebih seru daripada membantu ibu pergi ke warung untuk keperluan masak sehari-hari.

“Jangan nakal di rumah simbah ya, Le.” Pesan ibunya sebelum Rebo naik ke sepeda motor vespa bapaknya. “Ibu gak ikut?” Tanya Rebo sambil membenarkan letak tas di punggungnya. “Ibu ada arisan sore nanti. Eh, kardus oleh-oleh untuk simbah masih di kamar. Sebentar ya ibu ambilkan.” Pakne Rebo menghidupkan vespanya sambil menunggu Bune Rebo kembali membawa kardus oleh-oleh. Setelah beberapa saat, Bune Rebo kembali tapi tidak membawa apapun. Wajahnya tegang tapi badannya seperti lemas tak bertenaga, melangkah gontai menghampiri suami dan anaknya. “Simbahne Rebo di rumah sakit, Pak. Kritis.” Kabar yang didengar Bune Rebo melalui telepon genggam dari Bude tak memberi kejelasan di mana simbah dirawat karena ibu keburu menjatuhkan hp-nya akibat panik. Akhirnya, selama beberapa menit berikutnya, Pakne Rebo yang kebingungan mencari kejelasan.

Rebo bengong. Ia tidak hanya tidak jadi liburan di rumah simbah, tapi juga mendapat tempat berlibur baru, rumah sakit. Ibunya pasti akan mengajaknya menjaga simbah karena tidak mungkin meninggalkan ia sendiri di rumah sementara bapaknya bekerja. Setidaknya, ia terbebaskan dari malam panjang terjaga sendirian, batinnya. Tergopoh-gopoh mereka disambut Lik Madyo, adik ibu paling kecil dan Bude Sati, kakak ibu nomer satu di rumah sakit. “Bapak kritis, Dik.” Kata Bude Sati sambil menangis. “Mungkin kelelahan, tadi pagi terpeleset kok langsung tidak sadarkan diri. Sampai sekarang masih koma.”

Rebo sudah membayangkan malam-malamnya di rumah sakit. Ia membayangkan tempat-tempat baru yang bisa ia jelajahi tanpa menyadari tidak bisa seenaknya ia keluar-masuk ruangan di rumah sakit. Ia beringsut ke belakang ibunya saat seorang lelaki bersama satu suster yang membawa suntikan di nampan memasuki ruangan tempat simbahnya dirawat dengan selang-selang. “Bisa saya bicara dengan putra-putri bapak ini?” Rupanya lelaki itu dokter dan Bune Rebo serta Bude Sati bergegas maju sementara Pakne Rebo dan Lik Madyo tetap ditempat mengamati. “Mari ke ruangan saya ibu-ibu.” Dokter itu memimpin jalan ke satu ruangan di ujung koridor kamar rawat inap simbah. Lelaki itu menghembuskan napas sambil menatap ibu, Madyo dan Bude Sati secara bergantian.

“Bagaimana, Bune?” Bapak menghampiri Bune Rebo yang sudah kembali ke depan kamar simbah dirawat dan duduk lunglai menahan air mata. Bapak segera tahu apa yang terjadi. “Sabar, Bune.” Bune Rebo kini sesenggukan, “Sudah tidak ada harapan, Pakne.” Bapak mengelus pundaknya. Selalu ada harapan Bune, yang sabar. Cepat atau lambat kita semua akan meninggalkan dunia ini. Kamu masih punya aku dan Rebo kalau bapakmu pergi.” Rebo hanya mengintip dari balik pintu, tanpa tahu harus berbuat apa. Tapi, Rebo merasakan kesedihan ibunya, ia ikut meneteskan air mata. Ia menyimpulkan percakapan yang ia dengar. “Apa itu artinya aku tidak akan bisa ngobrol, bermain di sawah dan naik kerbau lagi sama simbah?” Batinnya.

Rintik hujan di luar membuat Rebo menggigil di balik punggung ibunya yang kini sedang meringkuk di atas kasur lipat. Sudah tiga hari ia bersama ibunya di rumah sakit. Simbah sudah sadar, tapi tak bisa mengatakan apapun, hanya tatapan mata yang seolah ingin menyampaikan banyak hal sementara tak berdaya lagi karena keadaannya.Bune Rebo bangun, beringsut perlahan, takut membangunkan Rebo yang sebenarnya hanya pura-pura tidur. Ia lihat bapaknya sedang terlelap dan ia menjawil Bude Sati yang sedang berpangku tangan memandang keluar ruangan melalui jendela. “Mbak, kok nggak istirahat? Besok Mbak pulang saja dulu biar aku di sini. Kasihan yang di rumah nggak ada yang ngurus.” Bisik Bune Rebo pelan-pelan, takut kedengaran anak yang tidur dan bapaknya yang kini tergolek dalam keadaan mati tidak, hiduppun tidak.

“Aku sedang memikirkan perkataan Madyo tadi siang, Dik. Apa mungkin benar ya yang dikatakan adikmu itu?” Bune Rebo kini ikut duduk berpangku tangan di samping Bude Sati. “Maksud Mba tentang keris itu?” Bude Sati menghembuskan napas lelah. “Bapak kok ya masih mainan kayak gitu to. Tapi.....” Bude Sati tampak berpikir keras. Kedua alisnya hampir bertemu. “Apa mungkin keris itu juga yang sampai sekarang membuat bapak belum rela pergi? Aku sudah tidak tega melihat keadaannya. Bagaimana mungkin tekanan darah turun serendah itu dan bapak masih bertahan, Dik, coba pikirkan.Bune Rebo menoleh kaget. “Sepertinya aku dulu pernah diajak nyuci keris-keris itu Mbak. Tapi aku sudah tidak ingat ada berapa keris yang bapak punya. Aku masih kelas 6 SD kalau tidak salah waktu itu.” Bude Sati mendesah lagi. Ada sms di hp-nya, ia meraih hp tanpa menoleh. “Duh.” Kata Bude Sati. “Kenapa, Mbak?” Bude Sati menunjukkan sms dari Madyo, adik mereka.

Benar dugaan Madyo. Simbah punya “pegangan”. Keesokan harinya Madyo tiba di rumah sakit lagi sambil ngomel-ngomel. “Pak, Bapak. Orang lain sudah ngurusi Kerajaan Tuhan kok Bapak ngurusi kerajaan iblis.” Rupanya Madyo dapat informasi dari adik bapaknya bahwa keris-keris yang dimiliki bapaknya itu memiliki fungsi sendiri-sendiri. Satu untuk mageri, menjaga rumah, satu untuk kadigdayan biar tak mempan diserang senjata apapun dan satu lagi untuk keperkasaan. “Hus! Jangan begitu sama bapak.” Bude Sati buru-buru memperingatkan adiknya. “Bagaimanapun beliau bapak kita. Kita harus mendoakannya.” Madyo melengos. Marah dan kasihan campur aduk di hatinya.

Malamnya simbah makin parah keadaannya. Mulutnya terbuka matanya mengucap derita. Ia ingin menyampaikan sesuatu tapi tak mampu. Tekanan darahnya merosot drastis lagi, napasnya sudah tak menentu. Bune Rebo dan Bude Sati menahan tangis, tak mau membuat bapaknya makin tersiksa. Madyo cuma memandang, sementara Rebo dipangku bapaknya duduk di sudut ruangan. “Sudah, Pak. Tidak usah dipenggalih. Itu keris-keris nanti diurusi Madyo. Bapak yang semeleh. Kami semua berdoa buat bapak.” Mulut simbah mengatup. Napasnya lebih tenang dan pandangan matanya melembut.

Bude Sati menarik lengan Madyo, menyeretnya keluar ruangan. “Kamu cari keris-keris itu di kamar bapak. Doakan sama tetangga kiri kanan. Biar bapak tenang, Le.”Madyo tanggap maksud Bude Sati. Ia lalu mengajak Rebo untuk menemaninya. “Sana, Le, ikut paklikmu.” Rebo menurut. Ia girang, setidaknya bisa jalan-jalan naik mobil sama Pak Lik Madyo. Baru saja sampai jalan raya Rebo sudah tertidur karena kelelahan berhari-hari ia menjelajahi rumah sakit dengan pakliknya itu dan punya beberapa teman baru di sana, termasuk suster-suster yang merawat simbahnya. Ia baru terbangun setelah mobil yang dikendarainya belok ke ujung jalan rumah simbah. “Pantes ya Paklik, aku tidak pernah bisa tidur di rumah simbah. Selalu saja rasanya ada yang mengawasi. Mungkin yang nunggu keris itu ya paklik keluar malam-malam.” Madyo menoleh ke keponakannya. “Kamu merasa begitu?” Rebo hanya mengangguk-anggukan kepala.

“Kamu tunggu di sini ya, Bo. Paklik ke belakang sebentar.” Rebo cuma mengangguk lagi. Ia duduk menunggu pakliknya di ruang tengah, di tempat jam yang baginya mengerikan itu berada. Bentuknya memang unik. Ada ukiran di bagian atasnya yang berbentuk menyerupai kepala raksasa seperti di pewayangan. Lalu, di sisi kiri-kanannya ada semacam rambut yang menjuntai dari ujung kepala sampai ke bawah. Kemudian, di bagian bawahnya menjulur dua tangan seperti cakar berwarna cokelat hampir kehitaman karena debu. Di atas kedua tangan itulah biasanya simbah menaruh bunga-bunga berbagai warna. “Biar ruangan ini wangi, Le.” Begitu kata simbah dulu. Lalu, di bawah kedua tangan itu menggantung satu kaca kecil separuh badan.

Rebo sedang mengutak-atik mainan dari kayu berbentuk mobil yang dibuatkan simbah beberapa bulan lalu, saat melihat pakliknya muncul dari pintu kamar simbah. “Lho, Pak Lik katanya tadi ke belakang, kok keluar dari kamar simbah?” Pakliknya cuma tersenyum, lalu melambaikan tangannya. “Sini.” Rebo menurut, ikut pakliknya masuk lagi ke kamar simbah. Entah mengapa kamar simbah selalu remang-remang. Jendelanya jarang dibuka meski hawa sedang panas. Pakliknya menghadap lemari kecil di sudut ruangan, persis di samping lemari baju simbah. Rebo hanya memandang saat pakliknya itu mengambil bungkusan kain putih dari dalam lemari. “Ini keris-kerisnya simbah. Kamu bawa dulu ya.” Rebo sedikit gemetar menerima kain putih itu. Lalu beriringan mereka keluar dari kamar simbah ke ruang tengah. Pakliknya merangkul. Tanpa sengaja ketika melewati kaca yang menggantung di bawah jam, Rebo melirik dan seketika terkejut. Bagaimana mungkin tidak ada bayangan pakliknya di kaca, padahal pakliknya ada di sampingnya. “Kamu tunggu di sini lagi, nanti kita lempar keris-keris ini di sungai samping rumah pak dukuh. Paklik ke belakang lagi.” Kali ini Rebo tidak mengangguk atau menjawab. Ia hanya diam kebingungan, sambil gemetaran membawa keris terbungkus kain putih yang baunya wangi.

“Loh, kamu bawa apa itu, Bo?” Tanya Madyo yang muncul dari belakang bersama Pak Dukuh yang rumahnya memang berjarak beberapa rumah saja di belakang rumah simbah. “Loh, kan tadi Pak Lik to yang ngasih keris-keris ini ke aku?” Madyo dan Pak Dukuh saling berpandangan. “Bo, Pak Lik saja tidak tahu di mana keris-keris itu simbah simpan. Sini, coba cerita sama Pak Lik, siapa tadi yang ngasih ini ke kamu.” Rebo makin bingung. Ia ingin cerita, tapi rasa takut dan rasa bingung mendominasi. Ia malah menangis sejadinya.

Di rumah sakit, Bune Rebo dan Bude Sati berdoa di samping simbah. Setelahnya, Bude membawa Alkitab ke samping bapaknya yang sudah membuka mata tapi tetap tak bisa bicara. “Pak, ini saya bacakan Firman Tuhan. Biar Bapak lebih tenang lagi ya. Ini dari Kitab Keluaran pasal 20 ayat 3 dan 4, Pak, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi.” Nah, kan Pak, keris-keris Bapak itu dibuang saja ya Pak? Biar Bapak tenang.” Simbah hanya meneteskan air mata. Lalu setelah bergantian memandang Bune Rebo dan Bude Sati, simbah mengangguk lemah.

Beberapa saat setelah Rebo, Madyo dan Pak Dukuh melempar keris-keris terbungkus kain putih itu ke sungai, Hp Madyo berbunyi. Ia lalu duduk memegang pundak Rebo setelah mendapat telepon dari Bude Sati. “Le, simbah sudah meninggal,” katanya disusul tangis lirih Rebo yang tetap masih takut dan bingung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun