Sore, 4:33. Filbert Street
“Please, don't follow me,” Tapi lelaki yang tadinya sudah berjalan di belakangnya kini menjajarinya, meraih tangannya. “Please, kita perlu bicara, please, Fay.” Sore itu Washington Square Park sedang ramai. Banyak remaja dengan telinga tertutup headset berkerumun, berkelompok-kelompok entah merundingkan apa. Beberapa pasangan muda-mudi terkekeh-kekeh saling menggoda, beberapa pasangan tua memandang seolah rindu masa lalu.
Fay mengurungkan niat untuk pergi ke sudut favoritnya di taman itu. Bukan tempat yang terlalu istimewa. Satu bangku taman dari besi di sisi pohon ek tua. Ia biasa duduk di sana sepulang kantor sebelum memanggil taksi untuk kembali ke apartemennya. Memandangi orang lalu-lalang sambil menikmati capuccino bisa melepaskannya dari penat setelah seharian memandang laptop dan bos yang tak ramah. Cappuccino, minuman yang terdiri dari esspresso coffee, steamed milk dan seringnya disajikan dengan bubuk cinnamon itu memberi efek riang yang ia harapkan untuk kembali menekuni pekerjaannya sesampainya di apartemen.
Lelaki itu sudah tidak menjajarinya lagi, tapi belum menyerah mengikutinya. Fay masih menyusuri Filbert Street. Otaknya berputar memikirkan ke mana ia harus pergi supaya lelaki ini berhenti mengikuti.
Sore itu, semuanya melenakan. Musim dingin yang hampir tiba membuat angin yang berhembus seolah mengirimkan pesan: “Relakan musim gugur pergi.” Daun-daun jatuh mengiyakan, tapi matahari malu-malu menyetujui. Sayup-sayup hembus angin mengantarkan sebuah nyanyian, nadanya secara menakjubkan menyentuh hati tanpa telinga memaksa diri mendengarkan. Mungkin sedang ada latihan paduan suara di Saints Peter & Paul Church, pikir Fay.
Rejoice, The Lord is King, lift up you voice,
Rejoice, The Lord is King, your Lord and King adore...
Mungkin lelaki itu akan berhenti mengikutinya jika dia masuk ke dalam gereja. Fay mempercepat langkahnya, tapi lelaki itu kini berlari. “Fay, please, give me ten minutes to talk.” Gadis itu menghentikan langkahnya. Sekuat tenaga ia mencoba bertahan menatap mata lelaki di depannya. “Tom, tidak ada yang perlu kita bicarakan. Kuharap kau mengerti. Kita harus saling menghindari.” Fay hampir saja menitikkan air mata, tapi sekuatnya ia bertahan hingga suaranya gemetar.
Daun-daun jatuh, begitu pun air mata Fay. Tapi ia berpaling. Tak ingin Tom tahu sebesar itu makna ciuman mereka semalam. Fay sudah mau beranjak tapi Tom menyahut lengannya. Lelaki itu menatap tajam kedua mata gadis di depannya. Berubah lembut setelah melihat mata coklat itu meneteskan butiran-butiran bening seperti embun yang belum menyentuh apapun. Tidak bunga, tidak daun, tidak apapun. Fay bergeming.
Filbert Street seperti diseting tepat pada waktunya. Hanya ada satu-dua orang berlalu-lalang. Tak banyak kendaraan yang melewati jalan itu. Sebenarnya itulah salah satu alasan Fay senang menyusuri jalan ini. Sepi. “Ciuman itu salah,” kata Tom hampir seperti berbisik, “dan aku tahu itu. Kau bisa berteriak ke seluruh dunia dan mengatakan ciuman itu tak pernah terjadi. Tapi bagaimana cara membohongi hati? Kau bisa?” Fay menarik lengannya. “Sorry, I got deadlines waiting.” Gadis itu berlalu. Kali ini Tom tidak mengikuti. Lelaki itu hanya memandang hingga taksi membawa pergi sosok gadis yang dicintainya. Meski cintanya itu keliru.
Dengan gontai Fay menaiki tangga menuju lantai dua, tempat apatemennya berada. Lift-nya memang tidak rusak, tapi dilihatnya tadi orang-orang yang hendak masuk ke dalamnya adalah orang-orang yang ingin ia hindari. Ia sedang tidak ingin bertemu atau bicara dengan siapapun.
Fay menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia memijit-mijit keningnya, kemudian menunduk, menyangga kepalanya. Menangis. “Tuhan, aku telah berdosa.” Tubuh letihnya terguncang-guncang karena isak tangisnya yang tak lagi bisa ia tahan. Ia tertidur karena kelelahan, tak hanya tubuh, tapi juga hatinya. Dan dalam tidurnya ia bermimpi. Dalam setiap mimpinya akhir-akhir ini selalu terjadi percakapan semacam ini. Pikiran bawah sadarnya dengan lihai mengendapkan lalu memaparkan lagi semua hal yang kini mendominasi pikirannya.
[Kenapa kita tak bisa bersentuhan, Fay?]
(Karena kita saling menginginkan.)
[Peluk aku]
(Aku mati menahan keinginan itu)
[Tidak bisakah kita berciuman?]
(Apa kau mengerti Tom, aku mati menginginkannya. Tapi jangan. Aku tak kuat dengan ribuan ujung pedang yang kini kelip perlahan, mengarah ke dadaku. Sewaktu-waktu ke dadamu.)
Pagi, 8:05. Caffe Roma, 526 Columbus Ave.
“Okay, I don't like that face today.” Ben, lelaki tinggi dengan rambut coklat setengah ikal dengan tubuh yang sempurna itu duduk di depan Fay. Gadis itu mengangkat wajahnya. Ia menatap secangkir kopi di depannya. Tak ada yang bisa meraciknya senikmat Ben, sahabat sekaligus pemilik cafe itu. Kopi di tempat ini dihidangkan sesuai dengan peribahasa Itali:
Black as night / Strong as sin
Sweet as love / hot as hell
“Oh gimme abreak, Fay. Tell me what happened?” Ben menatapnya lembut. Matanya biru sempurna. Iapastilah jatuh hati padanya jika lelaki itu tidak gay. “I feel terrible, Ben. I need you tonight. Can you come?” Seorang pelanggan melambaikan tangan. “I will come. Kau bisa ke kantor sendiri? Atau perlu kuantar?” Fay tersenyum. “Thanks, Ben. I'm alright.”
Saints Peter & Paul Church, Filbert Street. 8:35.
Fay tidak bergereja di sini. Tapi justru itulah ia kemari. Supaya tak ada yang mengenali, sehingga ia bisa khusuk dengan dirinya sendiri, berbincang secara privasi dengan Tuhan, yang baginya kini lagi-lagi begitu absurd. Tak bisa dimengerti. Belum cukupkah Dia mengambil kekasihnya dalam kecelakaan maut itu, hingga kini ia harus kembali berada di dalam situasi sulit? “God, I'm no angel. I have a heart. What do You want?” Bisiknya sambil melihat ke sekelilingnya.
Fay mengambil tempat duduk di deretan tengah, tapi di ujung bangku. Di depannya, selisih empat bangku, seorang perempuan tua sedang khusuk berdoa. Tak banyak waktu yang ia punya, tapi ia harus kemari untuk menumpahkan perasaannya atau bisa gila di kantor dan tak mampu mengerjakan apa-apa.
Gadis itu menatap lurus ke depan, tidak ke suatu benda tertentu. Hanya menerawang dan berbisik di dalam hatinya. “Tuhan Yesus, apa yang Kau inginkan dengan menempatkanku dalam situasi ini? Aku tak menyangka bisa mencintai lelaki lain setelah kematian Stefan. Tapi mengapa Tom? Why him, God?” Perempuan tua yang tadi kusyuk berdoa menoleh. Ia berdiri dan menghampiri Fay. “Are you Fay?” Tanyanya. Fay terhenyak, tak buru-buru mengiyakan, tapi melihat ke sekeliling untuk memastikan perempuan ini bicara padanya. “I am Fay, Ma'am.” Perempuan tua itu tersenyum. “God speaks to me and mention your name. He said, your prayer is heard.”
Fay tertegun. Hatinya bergirang tapi tubuhnya tetap diam. Hanya gemuruh di dadanya seolah terdengar seperti ribuan drum dimainkan di sana. “Terima kasih, Nyonya. Out of millions of people and He calls me by name?” Air matanya menetes. Perempuan tua itu tersenyum lagi. “Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran, Nak.” katanya sambil berlalu setelah menepuk pundaknya. Perempuan itu mengutip Kitab Mazmur 25:10. Fay hampir hapal setiap ayatnya karena hanya Kitab itu yang paling sering ia baca. Baginya membaca Mazmur seperti menyanyikan segala perasaan dan mempersembahkannya pada Tuhan, dan itu begitu melegakan. Fay hendak bertanya lagi pada perempuan itu apakah ada hal lain yang Tuhan sampaikan, tapi blackberry-nya berbunyi. 1 New BBM dari bosnya: “Aku memerlukanmu di ruang rapat. Sekarang!!”
Sore, 4:45
“Fay, I need the article at 10 o'clock tomorrow morning on my desk. Aku tidak mau mendengar alasan lagi.” Itu pesan dari bosnya saat ia bersiap hendak meninggalkan kantor. Tiga hari lagi ia harus berangkat ke New York, ke kantor majalah Village Voice untuk mewakili Clark, bosnya di sebuah rapat dengan beberapa direksi dari penerbit-penerbit majalah serupa. Fay heran. Jarang sekali bosnya itu ramah padanya, tapi setiap kali ada rapat penting dan ia tak bisa datang, selalu dirinya yang diminta mewakili. “Mungkin New York bisa sekaligus menjadi tempat pelarian dari kekacauan ini,” pikir Fay.
Apartemen Fay, Castle Street, 8:44 malam.
“Kau mencintai lelaki ini? Siapa? Tom?” Tanya Ben setelah mendengarkan cerita Fay. “Itu bagian yang terburuk, Ben. Aku mencintai suami orang. Aku menginginkannya dan kuharap kau tahu, aku tidak bangga dengan hal itu. Entahlah. Mungkin sudah ratusan kali aku berusaha menghindarinya. Aku juga tidak tahu kapan tepatnya rasa itu ada. Tatapan matanya setiap melihatku, caranya tersenyum, perhatiannya, semua geraknya. Every move, every single move makes me crazy. Dan caranya menciumku, oh ampun.....” Fay menutup matanya. “sungguh aku menyesal membalas ciuman itu. Tapi aku tak bisa menolaknya, Ben. Seandainya saja kami tidak kebetulan lembur bersama malam itu dan kopi di cangkirnya tidak tumpah di kemejaku.”
Ben menatap Fay. “Aku tahu perasaanmu. Kisah kita berbeda, tapi aku tahu rasanya mencintai. Dicintai itu biasa, Fay. Tapi butuh keberanian untuk mencintai dan mengakuinya, karena hatimu harus siap untuk menerima derita yang dibawanya. Aku juga ingin menyampaikan satu hal penting malam ini. Kurasa aku ......” Ben ragu-ragu mengatakannya, “kurasa aku ... aku sudah berubah. Aku belum terlalu percaya Tuhan, tapi kurasa doamu terkabul. Kurasa aku mulai bisa menginginkan lawan jenisku. Fay melompat dari tempat duduknya. “Ben, this is GREAT,” katanya dengan keriangan yang membuncah sambil mengguncang-guncang lengan Ben. “katakan, katakan siapa gadis ini? Apa aku mengenalnya? Oh, come on, Ben.” Ben hanya tersenyum. “Oh, ayolah, kita sedang membicarakan masalahmu malam ini. My story can wait.” Tapi Fay mendesak, “Ben, ini lebih dari hanya berita bagus. Kau....I'm really really happy for you.”
“Terima kasih untuk doamu selama ini, Fay.” Ben meraih tangan Fay. Namun, Fay seperti diingatkan pada sesak di dadanya. Gadis itu kembali menerawang. Ia melepaskan tangan Ben, lalu mereka duduk berhadapan. Sejenak keheningan menguasai mereka. Ben tak melepas pandangannya dari gadis di depannya. “I'm sorry, I didn't mean to....” Ben belum menyelesaikan kalimatnya. “It's ok, Ben. Bukan salahmu. Aku hanya merasa semua ini membuatku gila. Setiap hal mengingatkanku pada Tom.”
“Tentu, Fay. Tentu saja begitu, karena kau mencintainya. Lanjutkan, mungkin kau akan merasa lebih baik jika mengungkapkannya.” Ben mendengarkan. “Setiap hari, jika aku belum melihat sosoknya, aku gelisah, Ben. Tapi berada di dekatnya, rasanya darahku seperti berkejar-kejaran dengan napasku dan ribuan kupu-kupu menari di perutku, otakku, pikiranku. Seperti ada kekuatan magnet yang dengan keji berniat memaksa mendekatkan tubuh kami. Aku......aku benar-benar sudah gila.”
Ben tertawa, “Kau hanya sedang jatuh cinta, dan orang yang sedang jatuh cinta memang cenderung gila.” Keduanya tergelak. “Everything happens for a reason, Fay. Tugasmu sekarang tinggal menunggu misteri itu mengungkapkan dirinya sendiri. Sementara itu, be good, dont make anything worse. Siapa tadi kau bilang namanya? Tom?”
“Thomas Lanne Jefferson.” Ben terkejut, lalu buru-buru mengubah ekspresi wajahnya. “Siapa?” Tanya Ben. “Oh, Please, you heard me. Thomas Lanne Jefferson.” Wajah Ben mendadak pucat. Ia menjadi salah tingkah. Mendadak diam dan sebentar kemudian buru-buru berpamitan. “Tapi, Ben, katamu cafe akan buka lagi pukul 12. Sekarang baru setengah 11.” Tapi Ben tergesa-gesa meraih jaketnya. “Sorry, Fay, tiba-tiba aku ingat harus menemui seseorang. I'll call you.”
10.49
Ben gemetar memegang blackberry-nya, menari-cari di nama-nama kontak, lalu matanya terpaku menatap satu nama. Satu nama yang sudah sekitar tiga tahun ini tidak ia hubungi. Ben ragu itu masih nomer hp Tom. Tapi, ia mencoba. Enam kali ia menelepon tapi tidak diangkat. Akhirnya ia menulis pesan: “Please, leave Fay alone.”
7.05 Pagi
Ben mengerjapkan mata mendengar ketukan di pintu. Dengan gontai ia membuka pintu dan terkejut melihat Tom berdiri di depannya. Keadaan itu sedikit canggung baginya. Mereka berdua pernah menjadi pasangan intim. Dulu mereka sepasang kekasih, tapi waktu telah memisahkan mereka cukup lama hingga pertemuan tak terduga seperti ini jelas membuat keduanya canggung. Ben mempersilakan Tom masuk tanpa sedikitpun tersenyum.
“Aku mencintai Fay, Ben. Dia satu-satunya gadis yang membuatku bisa bergairah, bahkan istriku tidak mampu melakukannya. Bukan salah istriku, aku hanya tak bisa mencintainya. Aku menikahinya hanya karena kebetulan ia anak teman baik ayahku dan aku harus menyelamatkan nama baik ayahku. Kau tahu, ayahku seorang pendeta. Aku aib baginya bila nekat menikahimu,” Tom berhenti bicara, seperti ada yang membuatnya benar-benar menyesal. “Seandainya aku bertemu Fay lebih cepat. Fay adalah perempuan pertama di dalam hidupku yang membuatku bisa menyukai lawan jenisku. I want her.”
Ben mendengarkan, tanpa memandang Tom. Pengakuan Tom membuatnya lega sekaligus marah, lalu katanya. “Kita mencintai gadis yang sama.” Tanpa mereka sadari, seseorang mendengar pembicaraan itu. Seorang gadis berdiri di pintu. “Fay?” kedua lelaki itu terkejut. “Dompetmu terjatuh dari jaketmu semalam, Ben.” Fay berlalu setelah melemparkan dompet Ben, tanpa berpamitan. Sekali lagi ia harus menahan air matanya. Tom mengejar.
“Fay, tunggu! Beri aku kesempatan untuk bicara. Please! I'll explain it to you.” Fay menghentikan langkahnya. Castle Street masih lengang. Udara dingin menembus paru-paru, menambah sesak di dada Fay kian menghimpit. Tom menatapnya. Fay bergeming, tak menatap mata itu. Dalam hati ia ingin menjerit. “Mengertilah, Tom. Aku tak pernah sanggup menatap mata itu. Karena setiap kali kuberanikan diri memandang, aku kehilangan segalanya, termasuk kewarasanku.” Dan bibir itu, bibir yang empat hari lalu menyentuh bibirnya dan melumatnya dengan aliran magnet ajaib yang membuat sekujur tubuhnya seperti terbakar, betapa ingin ia merasakan lagi kehangatannya. Bersamaan dengan butiran-butiran salju pertama yang turun, ingatan Fay kembali ke masa kini. “Fay, I'm sorry. That kiss is wrong, yes it is wrong, but I love you, Fay. Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Tapi istrimu mencintaimu, Tom. Aku tak boleh mengingini milik sesamaku. Kalian sudah dipersatukan Tuhan. Sedikitpun aku tak punya hak untuk memisahkan. Tolong. Mengertilah.”
Entah dari mana Fay mendapat kekuatan untuk mengucapkannya. Tapi ia berhasil meninggalkan Tom berdiri terpaku di tempatnya. Hatinya sendiri perih, tapi ia hanya menangis lirih. Ia berlari, menembus butiran-butiran salju yang lembut. Terngiang lagi kata-kata perempuan tua di gereja itu, “Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran, Nak.” Fay menghapus air matanya, New York is waiting. Dalam perjalanannya ke airport di dalam taksi, Fay mendapat 1 pesan baru: I love you, Fay.” Gadis itu menyandarkan kepalanya, mengambil napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan. “I love you, Thomas Lanne Jefferson.” bisiknya lirih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H