Pintu gerbang utama itu selalu dibukanya. Menanti. Sejak segenggam usaha disemai di bumi yang katanya subur, disiram dengan air peluh. Sejak setitik asa disisipkan dalam seuntai doa, yang dilayangkan saban waktu.Â
Detik, menit, jam dan seribu purnama berlalu. Dia selalu terjaga di pintu gerbang penantian. Menanti dan menunggu. Namun, penantian tetaplah penantian. Tiada ujung, tiada akhir. Hampa!
Bosan, jenuh, dan asa pun putus. Sang penanti lelah. Sisa-sisa tenaga digunakannya untuk menutup pintu gerbang penantian untuk selamanya. Sambil berucap: "Selamat tinggal penantian!"
Terlelaplah dia di akhir sebuah penantian. Sepanjang hari, sepanjang malam. Dilewatkannya purnama yang indah. Baginya, purnama hanya keindahan sementara yang menebar harapan dan janji palsu.Â
Terlelaplah dia dalam pelukan malam, hingga hangat seberkas mentari pagi membangunkannya. Hari ini sang penanti ingin meninggalkan rumah. Baginya rumah tua itu adalah sebuah kisah traumatis, tentang penantian!Â
Lalu, dibukanyalah pintu belakang yang lama tak dibukanya. Tetiba, suara merdu menyapanya, "Selamat pagi..."Â
Ah, bukankah itu suara yang dinanti? Â
"Aku lama menantimu, membuka pintu ini"Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H