Di atas selembar daun kering yang terlunta, sebatang pohon menuliskan surat cinta, dengan tetes-tetes embun air mata, yang diubahnya menjadi tinta. Mencoba melukiskan cinta, dengan air mata.
Kepada seseorang yang tercinta, dituliskannya cerita, tentang masa lalu yang begitu indah, yang kini tinggal kenangan indah.Â
Kenangan tentang hutan rimba. Pohon-pohon bercumbu mesra. Burung-burung berkicau indah. Hujan menyiram hutan, tanah pun basah tanpa gejolak. Air meresap melalui pori tanah, mendapat tempat istirahat penuh kenyamanan.Â
Kini semua tinggal kenangan.Â
"Aku kini, sendiri sebatang kara. Tak ada lagi hutan belantara, hanya prahara. Ketika sang hujan ada, datang jugalah sejumlah perkara."
"Kemarin banjir dan longsor menerjang desa. Air mengamuk, tanah berpindah."
"Lalu, kubaca berita. Engkau menyebut ini bencana. Kuasa Sang Pencipta."Â
"Padahal sejak kau berkuasa. Engkau memerintahkan manusia dan mesin, memotong pohon. Hingga tiada bersisa, kecuali aku. Engkau mencipta bencana. Tak ada yang melarang, karena engkau yang punya kuasa melarang."
"Aku masih ingat, engkau kampanye dengan suara lantang, ingin menjaga hutan. Mungkin kau lupa, setelah memeluk mahkota."
"Aku hanya ingin mengingatkanmu, karena cintaku. Â Sebelum bencana menimpa istana. Dan segala kuasa menjadi percuma."