Aku senang dengan baliho itu. Tapi bukan baliho yang kau cakapkan. Bukan baliho yang berbaris di pinggir jalan. Berdiri kaku di lorong-lorong.Â
Wajah-wajah yang rela berjemur matahari dan mandi air hujan. Bajunya, itu-itu saja, melewati seribu senja. Hanya untuk sebuah nama, di antara pusara pandemi tanpa nama.
Aku senang dengan baliho itu. Tapi bukan baliho cetakan. Wajah editan, senyum pun diedit.Â
Suatu saat pasti luntur, ditemani guntur. Suatu saat pasti sobek, tak dipandang manusia melek. Suatu saat jadi limbah, hancur lebur bersama sampah.
Aku senang dengan baliho itu. Tak banyak bicara kosong tentang hikayat seribu satu malam. Hanya berkarya tulus untuk lebih seribu satu rakyat yang tertimpa malang.Â
Senyumnya tulus, tanpa editan. Semangat juang tiada luntur. Rekam jejak tak akan jadi sampah. Jejak-jejak juang tentang karya kebajikan yang terekam dalam memori pikir dan disket rasa. Dalam pita-pita hidup nalar dan nurani. Para konstituen.
Aku senang dengan baliho itu. Baliho sesungguhnya! Bukankah 'baliho' berarti bangga lihat orang?. Yang sesungguhnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H