Kunci kemenangan dalam kompetisi olahraga termasuk bulutangkis, bukan hanya soal teknis, skill, stamina, dan strategi.
Gelaran olahraga kasta tertinggi yang kita kenal sebagai olimpiade, sebagaimana halnya hajatan Olimpiade Tokyo 2020, tentu saja punya magnet dan gengsi tersendiri. Setiap negara peserta berusaha menunjukan prestasi terbaik dan berjuang meraih medali olimpiade dari setiap cabang olahraga (cabor) yang dilombakan. Tak terkecuali cabor bulu tangkis. Cabor yang menjadi primadona Indonesia.
Kita baru saja usai menikmati laga  para atlet bulu tangkis kelas dunia di Olimpiade Tokyo 2020, dan Indonesia sukses mendulang satu medali emas dan satu medali perunggu. Emas dipersembahkan pasangan ganda putri Greysia Polii/Apriyani Rahayu. Sedangkan medali perunggu dipersembahkan pebulutangkis Anthony Sinisuka Ginting dari nomor tunggal putra.
Jika kita menyimak pertandingan demi pertandingan, utamanya di babak semi final hingga perebutan medali, setiap pemain memiliki kualitas teknis yang mumpuni. Stamina tidak diragukan. Masing-masing atlet beradu taktik dan strategi sesuai arahan pelatih. Â
Hal-hal teknis tersebut penting. Namun saya melihat ada faktor-faktor lain yang memengaruhi keberhasilan setiap atlet. Faktor tersebut adalah kemampuan mengatasi tekanan.
Kompetisi Penuh Tekanan
Olimpiade merupakan ajang kompetisi dan rivalitas yang penuh tekanan. Tekanan bisa datang dari dalam diri sendiri (internal) maupun dari luar (eksternal). Â
Umumnya kita hanya akrab dengan tekanan eksternal seperti tekanan penonton, apalagi penonton tuan rumah. Namun di ajang kompetisi bulu tangkis Olimpiade Tokyo 2020 yang digelar 2021 akibat pandemi Covid-19, tekanan penonton di lapangan nyaris tidak ada. Â Yang ada adalah penonton luar lapangan yang bahasa tekanannya dengan mudah terekspresikan di media sosial. Baik dalam literasi positif maupun negatif. Baik ekspektasi maupun provokasi.
Faktor tekanan dari dalam diri sendiri bisa disebabkan oleh ambisi dan asa yang melambung jauh dan tidak terkendali. Untuk hal ini, Greis/Apriyani mampu mengatasinya. Dalam beberapa kesempatan pasangan peraih satu-satunya medali emas Indonesia ini, menyebut bahwa mereka tidak memikirkan final ataupun medali emas saat datang ke Tokyo. Yang ada dalam pikiran mereka adalah bermain sebaik-baiknya. Dengan demikian, mereka tampil tanpa beban.Â
Di lapangan, kita dapat melihat paling kurang lima cara yang diaktualisasikan atlet bulu tangkis Indonesia Greis/Apriyani dan Anthony untuk mengatasi tekanan. Â Berikut ini uraiannya.
1. Sport SpiritualityÂ
Olahraga bukan cuma ajang fisik, tetapi juga ajang spiritual.  Doa sebelum bertanding, disaat bertanding hingga usai menuntaskan pertandingan merupakan sebuah wujud spiritualitas olahraga (sport spirituality). Doa dapat menghentar pada ketenangan dan pasrah. Dengan demikian menghilangkan beban di pikiran dan perasaan.
Â
2. Senyum
Hadapi dengan senyuman. Sepertinya adalah rumus Greis/Apriyani. Saya menyaksikan di layar TV, bagaimana mereka tersenyum baik ketika mendapatkan poin atau kehilangan poin. Tak pernah saya melihat mereka mengumpat karena gagal mendapat poin atau membanting raket karena melakukan kesalahan. Tak ada negative action seperti itu. Hanya senyum!
Â
3. Tenang
Anthony Ginting jarang senyum, tapi menyaksikan mimiknya nampak sekali aura ketenangan. Â Baik Anthony, Greis maupun Apriyani pada akhirnya mengalahkan tekanan. Merubah ketegangan menjadi ketenangan sehingga mereka dapat fokus dan strategi pelatih bisa diterapkan.
4. Semangat
Sesekali mereka berteriak sebelum melakukan servis atau menerima servis. Rupanya hal ini adalah teknik menyemangati diri sekaligus mengusir ketegangan.
Â
5. Komunikasi
Anthony nampak sekali memanfaatkan komunikasi dengan pelatih. Greis dan Apriyani, selain dengan pelatih juga tak putus melakukan komunikasi di antara mereka berdua. Komunikasi semangat dan saling mengalirkan energi positif yang pada kahirnya menjadi energi kemenangan.