Jauh di negeri orang, perang benderang. Roket menerjang, insan pun tegang, tubuh meregang, lalu, nyawa melayang.Â
Atas nama sejarah, atas nama kuasa, atas nama kehormatan, atas nama negara, atas nama agama, atas nama yang suci, atas nama Tuhan. Perang!!!
Sementara, rakyat jelata, anak-anak dan kaum lemah, dengan simbol-simbol kesucian yang berbeda, saling berpelukan, tak bisa apa-apa, selain terpaksa menjadi korban, bukan pahlawan, apalagi pemenang.Â
Gedung-gedung tak berdosa, menangisi kehancurannya. Lalu, puing-puing air mata membasahi tubuh sang korban. Asap mengudara sambil melagukan kidung elegi dan menyiarkan kabar duka dan siksa.
Di istana, sang pemenang bersorak gembira kepada kehancuran, menari di atas panggung darah dan air mata. Memeluk erat piala kezaliman. Merayakan apa yang dia sebut sebagai: kemenangan!
Lalu, Suara dari Langit terdengar.Â
Marah!Â
Air mata jatuh dari Langit.
Sedih...
"Engkau bukan sang pemenang. Engkau adalah kekalahan. Engkau kalah oleh kepintaranmu, oleh egomu!" ungkap Suara dari Langit.Â
"Pemenang adalah insan yang memelihara hidup manusia, yang mencintai perdamaian dan membenci perang."Â
Sang pemenang semu itu, tak bisa bicara, tak bergerak, hancur lebur bersama piala kezaliman dan menjadi tanah. Tak berdaya diinjak serdadu dan para jelata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H