Luisa, bukan sekedar aksara tanpa makna. Luisa adalah lukisan tentang pribadi pejuang. Pejuang yang menerobos lorong waktu yang tiada menentu.
Luisa, sekian purnama bertabur suka dan derita telah engkau nikmati. Jejak-jejak juang telah engkau lukis di lintasan sang waktu.
Nyanyian peluhmu masih sayup terdengar ketika jejak-jejakmu kami telusuri, dan dia bercerita tentang hidup yang harus diperjuangkan.
Jejak bekas titisan air mata masih terukir diantara jejak-jejak langkahmu. Jejak itu bercerita tentang kesabaran, ketabahan dan kesetiaan dalam jerih juangmu.
Luisa,di ujung jalanannya, jejak-jejak langkah tersiram merah darah, melukis gambaran siksa derita manusia fana yang berusaha bertahan hidup, bukan untuk dirinya, tetapi untuk orang-orang yang dia cintai. Orang-orang yang wajib terucap di setiap doa yang kau ucapkan kepada Sang Khalik.
Luisa, di ujung lintasan juangmu, kidung elegi pertanda duka menggema, diiring musik air mata. Elegi kepada perempuan pejuang yang  penyabar, pengasih dan pendamai, yang kini terbaring kaku tak berdaya.
Luisa, kita tak bisa bertegur sapa lagi. Engkau telah mengakhiri juangmu, gerbang keabadian telah menyambutmu. Nikmatilah senangmu di negeri di awan sana, negeri langit di atas langit. Di sana tak ada sakit lagi. Di sana negeri kekekalan.
Di akhir kidung elegi  terungkap asa: "Tuhan, ijinkan Luisa hidup, meskipun hanya dalam kenangan. Kepada jerih juang, kepada kesabaran dan kesetiaan, kepada kedamaian dan iman. Sebab kenangan kepada orang benar, mendatangkan berkat".
Selamat menuju keabadian, Istri, Mama, Oma, Kakak, Saudara, Sahabat kami, Luisa "Nona" Tinangon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H