Fajar menyingsing, waktu menyapa sang buruh yang baru selesai melepas mimpi. Diambilnya gawai, dipungutnya aksara-aksara tak bertuan. Lalu, digambarnyalah sketsa tentang kerangka bangunan fiksi. Dari beranda hingga dapur. Dari kamar mandi hingga kamar tidur. Fondasinya adalah fakta, rasa dan nalar, dan juga imaji.Â
Tuan dan nyonya tak sabar menunggu. Merindu sebuah karya. Bangunan peneduh raga yang lelah diterpa problema. Bangunan tempat memadu romansa hingga elegi.Â
Bergegas, sang buruh mencipta karya. Diaduknyalah aksara dan angka. Dibangunlah tembok-tembok kata dari batu aksara dan diksi-diksi terbaik. Kata-kata disusun rapih menjadi dinding-dinding kalimat yang menyekat ruang bait.Â
Lantai bangunan itu dibuatnya dengan campuran pasir aksara dan angka, yang berpadu erat oleh semen konjungsi. Â Dipilihkannya judul terbaik untuk atap-atap bangunan. Lukisan warna-warni metafora menghiasi bangunan itu. Akhirnya, selesailah rumah literasi dengan ruang-ruang bait yang serasi.
Tuan-tuan penghuni bangunan itu, terheran-heran. Sang buruh aksara tak mau menerima upah lembaran-lembaran rupiah yang melebihi standar negara.Â
Kata sang buruh, "upahku adalah selembar keabadian dari bangunan aksara, serta seberkas senyum, setitik semangat dan kidung harmoni kehidupan yang lahir dari bangunan abadi ini."
#Selamat hari buruh para buruh aksara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI