Lice, begitu perempuan tua itu disapa. Â Menatap wajahnya, kutemukan bunga senyum yang selalu mekar, buah-buah kesabaran yang matang. Seberkas cahaya semangat juang yang tak pernah redup ditelan waktu.Â
Lice, cahayanya selalu mendahului sang fajar yang masih tertidur lelap. Meskipun sang fajar terlelap duluan. Bergegas dia menyiapkan menu sarapan untuk anak-anaknya. Setelah itu, sepasukan barang dagangan dinaikan ke roda dagangan, yang mungkin lebih tua darinya. Seekor kuda dipandu sang kusir, siap menarik roda dagangan.Â
Lice, menaiki roda dagangannya. Melintasi kampung demi kampung, sejak mentari masih mengintip dibalik pegunungan, hingga berdiri tegak membakar kulit perempuan tua yang tersenyum sabar, di atas roda dagangannya.Â
Lice, kembali sore hari, usai juangnya bersama kusir dan roda tua. Menghitung recehan koin rupiah. Apakah untung atau rugi. Apakah cukup untuk membeli kangkung, beras dan barito, yang akan dijual lagi bersama roda dagangannya.Â
Lice, lebih sering tak untung. Tapi dia selalu bisa tersenyum. Dia pedagang sosial. Hutang tak ditagih. Bonus segenggam beras untuk belanja seliter beras, atau beli dua ikat kangkung, dapat tiga ikat.
Lice, lama berjuang sendiri, hanya ditemani kusir, roda tua dan kuda. Dia, lama telah ditinggal kekasih, yang mendahuluinya menuju keabadian, sejak si bungsu membilang setahun usia.
Lice, tak kunjung menjadi pedagang besar. Dia, kuda dan roda tua itu, tak mampu mengampu tujuh anak, yang makin hari, makin butuh uang dari ibu mereka, si pedagang sosial, single parents.Â
Lice, akhirnya menjual roda dan kuda, demi hidup tujuh buah hati. Tetapi, hutang para pelanggan, tak mau ditagihnya, hingga dia mati, menuju keabadian. Yang diwariskannya hanya semangat seorang pekerja keras, seorang pejuang kehidupan, yang mau berbagi sekalipun hidupnya susah.
Miss you mother
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H