"Tak perlu muluk-muluk, tak usah bercita-cita tinggi. Kita kaum bodoh, manusia bodoh di kampung ini," begitu ungkap nenek kepada seorang cucunya.Â
Sang cucu merenung, hanya merenung, tanpa sepatah kata, hanya kata dalam pikiran: "Bukankah nenek tahu, meskipun tak pintar amat, aku selalu lulus hingga sekarang kelas enam SD?"
Tapi sudahlah, mungkin nenek punya maksud lain. Biarlah aku menyebut diriku: "manusia bodoh!"
Setidaknya, jika aku salah, tak ada alasan untuk menyalahkanku. Maklum aku manusia bodoh.
Sekali lagi, "aku manusia bodoh!!!"
Sekian purnama ditelan waktu
Manusia bodoh, berserah kepada angin
Manusia bodoh, mengalir seperti air
Hanya keyakinan yang menemani
Keyakinan tentang niat
Niat tentang ketulusanÂ
Langkah terus melangkah
Langkah tentang kebaikan
dan kebaikan tentang kebaikan Â
Raga terus berjuang
Juang tentang kerja
Kerja berirama keras
Di suatu titik perhentian, manusia bodoh itu, menangis terharu.
Tersadar. Dia duduk di kursi manusia cerdas, meskipun dia masih dan masih, semakin merasa bodoh.
"Terimakasih nenek, untuk filosofi manusia bodoh."
Manusia bodoh ternyata adalah motivasi, supaya tidak dibodohi zaman. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H