Andaikan ku bisa memilih. Pasti tak akan kupilih jalan samsara itu. Tapi sayang, tak ada pilihan lain. Kerikil tajam tersenyum ketika mampu mencumbu telapak kaki telanjang. Sementara aku hanya bisa merintih.Â
Andaikan aku bisa berhenti, akan kuhentikan perahu kecilku yang terancam ditengah gelombang. Tapi sayang berhenti sama saja dengan bunuh diri. Aku tak suka. Biarlah aku mati dalam sebuah juang daripada mati karena diam.Â
Ah, bukankah kematian adalah puncak samsara yang dalam kuasa Sang Khalik? Kecuali kita mau merampas kuasaNya. Tidak. Biarlah berjuang dalam samsara, teruslah mendayung mencumbu gelombang.Â
Jalan samsara bukan pilihan. Dia adalah salib yang harus kupikul. Dia adalah jembatan gelap yang menguji keberanian dan harapan. Dia adalah gunung yang harus kudaki dengan peluh dan air mata. Sebelum menemukan hikmah dan nikmat di Puncak Harapan.Â
Tak ada pilihan lain. Susuri jalan samsara itu. Selalu ada setitik cahaya harapan. Ada emas di ujung jalan gelap itu, seperti pelangi sehabis hujan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H