Lelaki miskin itu bernama Pauper, mencintai kerjanya sebagai pemulung, hidup dari sampah-sampah kota. Dari sampah-sampah jualah dia membangun rumahnya. Atap dari seng-seng bekas dan dinding dari kardus. Orang-orang menyebut rumah si Pauper sebagai gubuk, tapi baginya itu istana.Â
Di puncak bukit nampak rumah si Dives, lelaki terkaya di kota itu, seorang konglomerat. Tak heran rumahnya bagaikan istana, selain megah juga kokoh. Orang-orang menyebut rumah itu istana, tapi baginya itu hanyalah rumah biasa, karena dia merindukan suatu saat akan berkuasa dan tinggal di istana negeri.
Kemarin hari yang malang bagi si Pauper. Banjir menghanyutkan rumahnya, tanpa bekas. Pauper hanya menatap tanpa meratap. Dia tersenyum saja. Sesudah banjir dia bisa membangun istananya lagi dari kayu yang dihentar banjir. Dia tersenyum bangga, karena membangun rumahnya tanpa bantuan negara.Â
Si Dives hanya tersenyum menatap banjir yang melanda, sambil mengucap sepenggal kata, "kasihan...," tanpa aksi. Pikirnya, dia nyaman dan juga aman karena rumahnya dipuncak bukit.Â
Seminggu kemudian, di kerumunan sampah, Si Pauper bingung menyaksikan seorang lelaki bukan pemulung sedang mengais sampah-sampah. Dia bertanya kepada lelaki itu.Â
"Apa yang kau cari tuan?"
Jawab lelaki itu, "Aku mencari rumahku, aku mencari istanaku yang hilang."
Lelaki itu ternyata adalah si Dives, lelaki kaya yang tetiba gila karena rumahnya ambruk oleh gempa. Â
"kasihan..."
Sang alam dan bencananya tak kenal si kaya dan si miskin, si Dives dan si Pauper.