Tak bisa pilih kampus? Kok bisa? Bukankah perguruan tinggi bertebaran di Indonesia?Â
Hehehe, ini pengalaman saya waktu memasuki dunia kuliah, setelah melepas seragam putih abu-abu. Biasanya, baik calon mahasiswa maupun orang tua, dihadapkan pada berbagai pilihan kampus. Namun yang saya hadapi adalah situasi dimana tak ada alternatif lain di daerah saya. Bukan karena kampusnya hanya  satu tapi ini berhubungan dengan keterlambatan memutuskan untuk kuliah.
Gimana jalan ceritanya?
Yatim Piatu
Sejak umurku baru setahun, ibuku berstatus single parents selepas meninggalnya almarhum ayahku. Sejak mengenyam pendidikan TK, SD, SMP dan SMA, biaya pendidikan diupayakan  ibu yang berprofesi sebagai pedagang kecil, dibantu kakak-kakak. Â
Pas kelas 3 SMA, ibu meninggal dunia dan lengkaplah status saya sebagai yatim piatu. Saya tak berpikir untuk kuliah. Bersyukur saja dengan pendidikan hingga SMA. Apalagi dalam bayangan saya, kuliah itu mahal.Â
Terpaksa KuliahÂ
Keputusanku untuk kuliah dapat dikatakan terlambat dan terpaksa. Â Keputusan itu diambil disaat pendaftaran di universitas negeri dan beberapa perguruan tinggi swasta telah ditutup. Beruntung, masih ada sebuah kampus di Kota Sejuk Tomohon yang masih membuka kesempatan pendaftaran untuk gelombang ketiga, itupun hanya terbatas untuk Fakultas yang masih belum terpenuhi kuota pendaftar.Â
Keputusanku untuk kuliah juga karena paksaan dan desakan para kakanda. Oh ya, saya adalah anak bungsu dari 7 bersaudara, dimana 6 orang kakak paling tinggi berpendidikan SMA sederajat. Tak ada yang bergelar Sarjana. Mungkin hal ini yang mendorong semangat mereka untuk mendesak si bungsu kuliah.