Langkah demi langkah mencium bumi, mencipta jejak tanpa jeda dalam lintasan waktu. Menyaksikan sang bumi dalam beragam rupa, kadangkala hijau tersenyum, seringkali gersang bersamsara, yang silih berganti singgah di mata dan menyentuh relung hati.Â
Langkah demi langkah penuh semangat menembus lorong waktu yang tak pernah terlelap, yang terus berdetak. Â Mentari dan rembulan setia menemani hingga melewati sekian kali gerhana dan purnama. Aku terus melangkah.Â
Suatu ketika, tibalah aku di suatu tempat. Kulihat patok pemisah antara dua ruang episode, tegak berdiri sambil menertawakanku. Entah apa maksudnya, patok pembatas itu terus tertawa ketika diri ini mencoba melangkah pergi melintasi batas episode. Dia terus tertawa, sementara aku mencoba melangkah.
Lalu, langit biru bermetamorfosa menjadi mendung. Kelabu mewarnai tapal batas, aku tak bisa mengayunkan langkah lagi. Raga menjerit, terkapar tanpa daya. Sepasang jejak kaki tiada tercipta lagi. Aku terhenti di tapal batas.Â
Hari itu alam berkisah tentang batas-batas kemampuan, dan syair puisi berkisah tentang baris hampa di antara bait. Â Bahwa langkah sang insan tiada kamil *). Â Dia butuh tapal batas perhentian, untuk menghela napas, untuk menambah pundi-pundi semangat, untuk memulihkan raga yang letih, untuk bercermin dan terus becermin, hingga akhirnya, langkah-langkah sang insan siap melukis jejak-jejak baru setelah terhenti di tapal batas insani...
---
*) kamil = sempurna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H