Sengketa Hasil dalam Pemilu atau Pilkada sesungguhnya tidak dikehendaki. Siapa yang mau bersengketa? Namun fakta membuktikan sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi masih terjadi dalam setiap hajatan Pemilu atau Pilkada.
Adanya sengketa sebenarnya mencerminkan adanya ketidakpuasan terhadap hasil. Â Sebaliknya, jika sengketa tidak ada maka setidaknya membuktikan kepercayaan terhadap hasil Pilkada. Â
Di lain pihak mekanisme penyelesaian sengketa secara formal merupakan bagian dari upaya institusionalisasi konflik mewujudkan keadilan Pemilu/Pemilihan (Electoral Justice).
Konflik atau perselisihan politik elektoral yang tidak diformalkan atau dilembagakan (institusionalisasi) akan meningkatkan eskalasi konflik serta membuat konflik menjadi liar dan tak terkendali. Â Kondisi demikian bisa mengganggu homeostatisme sosial politik.
KPU sebagai penyelenggara teknis pemilihan tentu saja merupakan salah satu pihak yang sangat menentukan kualitas dari kontestasi Pilkada, tetapi juga menentukan eksistensi sengketa Pilkada. Â Apa yang dikerjakan jajaran KPU hingga menghasilkan output keputusan tentang penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara masing-masing kandidat akan menjadi objek yang disengketakan.
KPU berharap akan adanya situasi "nol sengketa", yang berarti  hasil yang ditetapkan sudah terpercaya prosesnya. Namun demikian,  sekalipun jajaran KPU meyakini kualitas proses dan hasil, sengketa seringkali tetap eksis karena sengketa tak bisa dipungkiri menjadi potensi untuk sebuah langkah terakhir memperoleh kemenangan dalam kontestasi. Â
KPU tidak bisa melarang pihak-pihak yang mau mengajukan keberatan terhadap hasil yang telah ditetapkan, karena hal perihal "naik banding" terhadap hasil yang ditetapkan sesungguhnya merupakan hak konstitusi dari para kandidat. Upaya hukum tersebut wajar dan memiliki dasar hukum.
Jika demikian, Â apa yang perlu dilakukan KPU?