#SajakUntukKomunitas
Panggung sandiwara itu kemarin ricuh. Lakon-lakon tak terkendali. Menari semaunya, senandung tanpa harmoni, narasi-narasi meluap tak terkendali. Judul-judul tak beraturan, tak jelas judul apa yang dipentaskan.Â
Lakon-lakon kacau di panggung kebersamaan. Para protagonis kehilangan watak baik, ksatria, dan pahlawan. Para antagonis semakin egois sambil menyulut api. Menebar narasi bohong, fitnah serta kebencian.Â
Para tritagonis kehilangan kesabaran dan kebijaksanaan. Panggung sandiwara bergoncang digoyang gempa sejuta lakon egois. Lalu hancur, tersisa puing-puing sisa keangkuhan lakon-lakon yang kesurupan.Â
Di antara puing-puing itu, Â sepasang sutradara, lelaki dan perempuan, terluka oleh panggung sandiwara yang hancur. Sepasang sutradara menangis sambil berpelukan. Menyobek naskah-naskah pemicu kehancuran. Menyadari kisah cinta yang hancur karena ego insan di balik layar dan lakon di atas panggung.Â
Di malam yang sendu, sejuta pelakon terharu. Berdiri mengelilingi sepasang sutradara, lalu memapah sepasang sejoli itu. Semua menangis dan saling berpelukan. Lalu menyalakan api komitmen.
Pagi hari tersenyum, di keesokan hari. Puing-puing panggung sandiwara kebersamaan dibangun kembali dengan fondasi cinta. Sepasang sutradara asyik bercinta dan melahirkan naskah berjudul "kemesraan di panggung penuh warna". Â Satu judul saja untuk sejuta pelakon.
Lalu mulailah pentas baru di panggung kebersamaan. Sejuta lakon, sejuta warna, dalam satu panggung. Hanya satu panggung, kebersamaan. Sepasang sutradara itu hidup didalam penjiwaan sejuta lakon.
Sepasang sutradara itu bernama emosi dan rasio. Hati dan pikiran. Cinta dan logika. Selaras dalam sebuah naskah berjudul "kemesraan di panggung penuh warna"