Jumat, 2 Oktober 2020 usai menunaikan tugas narsum sosialisasi Pilkada di Desa Lemoh Kecamatan Tombariri Timur-Minahasa,  saya mampir sebentar makan Bubur Manado  atau orang Manado menyebutnya TINUTUA'AN, sering diucap singkat dengan "Tinu".
Sejak masih bertugas di KPU Kabupaten Minahasa, warung Tinutu'an Tante Dei yang berlokasi di dekat jembatan Paniki di Wilayah Wanua (Desa) Â Sarani Matani menjadi pilihan persinggahan untuk mengisi "kampung tengah" alias perut. Hehehe. Tinutu'an Tante Dey memang sedap dan khas.
Namun, makan Tinutu'an bukan hanya sekedar rasa tapi makna. Â Sehingga, Tinutu'an bukan hanya soal rasa di lidah tetapi juga rasa di hati.
Tinutu'an atau bubur Manado merupakan kuliner khas Minahasa-Sulawesi Utara. Terbuat dari campuran sedikit beras dengan beragam sayuran. Ada kangkung, labu kuning (sambiki), jagung muda, bayam hijau dan gedi. Juga ada singkong. Tinutu'an juga merupakan perpaduan bumbu alami (serei, Â kemangi, daun bawang, Â daun kunyit). Melahapnya dengan tahu rebus atau goreng, plus sambal (dabu-dabu) Â merupakan kenikmatan tersendiri.
Semua elemen dalam Tinutu'an berpadu membentuk sebuah kuliner khas yang tak lapuk dimakan waktu. Tinutuan merupakan kuliner sejak zaman penjajahan.Â
Perpaduan beragam warna dan aroma membawa kenikmatan. Perbedaan bukan masalah melainkan kekuatan. Tak ada prasangka, Â yang ada saling melengkapi. Itulah gambaran dan pembelajaran makna kehidupan dari tinutuan.
Pilkada adalah momentum kontestasi. Â Sarat perbedaan. Â Belajarlah dari Tinutu'an berbeda tapi saling menyayangi bahkan berpadu membentuk sebuah harmoni. Â Jauhkan ujaran kebencian (hate speech).
Alami bagaimana berbeda itu indah dan enak Tak percaya? Mari makan Tinutu'an dan buktikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H