Kita ada di habitat dua musim
Silih berganti mendarat di bumi
Musim yang dahulu mudah disangka
Namun kini sulit ditebak kapan kan tiba Â
Dua musim
Melukis jejak hidup
Dua musim
Pentas episode insaniÂ
Kemarin, kemarau menyelimuti nuranimu
Parasmu terbakar sang mentari yang tak mau bersahabat
Air mata tertumpah, habis, seiring keringnya mata air
Episode penuh kalah, hilang dan duka
Kau tinggalkan jejak-jejak kepedihan di padang gurun
Kau mencari pepohonan sobatmu untuk berteduh yang nyatanya hangus terbakar
Engkau berharap berkah pada angin kering yang hanya membawa debu
Tiada hijau daun atau bunga warna-warni, selain daun kering dan berguguranÂ
Namun, hari ini tak selamanya mendung itu kelabu
Terguyur engkau basah oleh berkah sang hujan
Air mata sedih berganti dengan air mata haru
Kepada episode penuh kemenangan, suka dan gembiraÂ
Kau tinggalkan jejak-jejak pengharapan di sawah berair yang dahulu kering
Pepohonan tersenyum membawa kesejukan pada insan yang berteduh
Kepada angin, kau titipkan setetes air untuk mereka yang dahaga
Hamparan hijau dan bunga-bunga melukis kisah sukacitaÂ
Cintaku, kita tak tahu episode apa esok hari
Mungkin kemarau, mungkin hujan
Atau mungkin, episode berakhir tanpa kemarau atau hujan
Dan, kita pun berakhirÂ
Satu hal yang pasti
Setiap episode hidup punya kisah sendiri
Setiap episode punya lakon yang berbeda
Setiap episode punya klimaks yang berbedaÂ
Kita hanya pelakon
Di atas panggung musim Sang Ilahi
Mainkan peranmu, entah kemarau ataupun hujan
Hingga kau kan tiba pada: klimaks episode dua musim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H