Mengalirlah seperti air, jalan berliku, alur berbatu, bukan halangan. Terus mengalir dalam aliran optimisme nan cerdas. Dia tahu kemana harus menghindar, menyelinap atau pura-pura tiada mengalir, sementara arus bawah terus bergerak.
Tenanglah seperti air. Diam dengan ekspresi jernih, yang membuat lawan terkecoh. Mereka menganggap diam adalah kekalahan, tanpa menyadari bahwa diam hanyalah sebuah  morfologi sementara anatomi selalu dinamis. Bahwa air beriak tanda tak dalam. Bahwa air tenang, menghanyutkan.Â
Beranilah seperi air. Terjun bebas berbuah keindahan. Semakin tinggi terjun tanpa luka, hanya keindahan. Karena dia tahu bahwa terjunnya di jalan benar tarikan gravitasi. Tak perlu berpikir melayang, hanya terjun dan terjun dalam kebebasan dan kebenaran. Sebuah drama keindahan.
Jadilah pahlawan seperti air. Amukan api di sana-sini padam oleh siraman air. Â Insan-insan tak berdosa gagal terpanggang oleh panas membara jilatan lidah api. Ada air, yang mengamuk, dibuatnya siuman.
Hiduplah seperti air. Meluruhkan hati yang keras, bukan menyulut api. Larutlah sesendok gula dan kopi di dalam air.  Manis dan pahit, putih dan hitam menyatu dalam damai. Larut dalam sukacita dan tercium aroma cinta, romansa hitam dan putih. Dua kutub saling kontras, simbol kekelaman dan kesucian  larut dalam cinta oleh molekul cair perdamaian. Â
Mengamuklah seperti air. Gelombang menghempas keangkuhan. Arus menerpa kesombongan. Bahkan keangkuhan Sang Titanic, habis tersapu gelombang. Air mengamuk namun mampu mereda, lalu kembali memadu cinta, melupa bahwa kemarin ada tsunami.Â
Air, mana air? Dia selalu dirindu meskipun kemarin dia mengamuk.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI