Bertanya seorang ayah kepada anaknya, "maukah Engkau mengganti ayah duduk di kursi empuk memangku kuasa yang mampu memaksa selaksa manusia tunduk dan sujud, pun juga mampu memaksa pundi kosong terisi penuh tanpa undi?"
Sang anak terdiam sejenak, merenung, berpikir, merasa....
"Ayah, kursi itu terlalu empuk bagiku, aku tak biasa berkuasa dan memaksa. Lagi pula kita tak hidup di negeri para raja yang terbiasa mewariskan kuasa kepada anak raja sejak raga dikandung ibu," jawab sang anak kepada ayahnya.
Ah, Kau harus ku paksa! Demi kuasa dan kuasa!
Bertanya seorang anak kepada ayah, "dapatkah aku mengganti dirimu, duduk di kursi empuk memangku kuasa tanpa terpaksa, tanpa siksa yang menyiksa raga, pun tanpa puasa, demi kuasa yang leluasa mengatur jalan hidup selaksa manusia?"Â
Sang ayah terdiam sejenak, merenung, berpikir, merasa....
"Nak, tak sembarang orang yang bisa, duduk di kursi empuk penguasa. Engkau pun tak bisa meski tanpa rekayasa. Negeri kita bukan negeri para raja yang menaruh mahkota tanda kuasa di kepala anaknya yang baru beranjak dewasa," jawab sang ayah kepada anaknya.
Ah, Aku harus terpaksa! Demi asa, sang anak yang terus memaksa.Â
Dinasti, antara paksa dan asa, antara rindu dan benci.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI