Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa -Â namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.Â
-----(Soekarno dalam Pidato  dalam sidang  Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan/Dokuritsu Junbi Cosakai, 1 Juni 1945)**
Pancasila atau lima asas/dasar bernegara Indonesia menurut Soekarno dalam Pidatonya, 1 Juni 1945, bagi saya mengandung arti bahwa Pancasila haruslah mengakar dalam kultur atau kebudayaan rakyat Indonesia yang beranekaragam. Jika Pancasila tak berakar dalam kultur masyarakatnya maka pohon ke-Indonesiaan tidak akan tumbuh, berkembang dan berbuah secara berkelanjutan (sustainable), atau  kekal dan abadi menurut Bung Karno.
Sebagai bagian dari anak bangsa yang lahir, bertumbuh-kembang dan tinggal di tanah Minahasa Provinsi Sulawesi Utara yang merupakan bagian dari Indonesia, menjadi kewajiban moral untuk senantiasa merefleksikan dan turut memperkuat akar Pancasila demi kokohnya Pohon Ke-Indonesiaan. Refleksi itu dapat kita mulai dari kultur masyarakat di mana kita mengada.Â
Uraian berikut mencoba memberikan deskripsi singkat, bagaimana Pancasila menjadi akar dalam kultur kehidupan rakyat di Minahasa dan Sulawesi Utara.Â
1. Ketuhanan Yang Maha Esa: Dari Toleransi hingga BKSAUA
Masyarakat Minahasa merupakan masyarakat yang terbuka, karena keterbukaannya sejak dahulu, maka agama-agama dengan mudahnya masuk dan berkembang, menggantikan kepercayaan lokal. Minahasa yang awalnya identik dengan agama Kristen karena sebagaian besar penduduknya memeluk agama Kristen, tidak bersifat tertutup terhadap agama lainnya, jauh sebelum kelahiran Pancasila. Â
Salah satu contoh konkrit dapat dilihat dari sejarah berdirinya Kampang Jawa (Jaton) di Kota Tondano Ibukota Kabupaten Minahasa yang juga merupakan sejarah kehadiran Islam di Minahasa. Â Sebagaimana sempat saya uraikan dalam artikel sebelumnya berjudul: Ingat Lebaran, Ingat Kampung Jawa Tondano dan 3 Ciri Khasnya. Sejarah Jaton berawal dari ditangkapnya Kyai Modjo yang merupakan Penasehat Agama sekaligus Panglima perang dari Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830), pada tahun 1828. Â Kyai Modjo kemudian dibawa ke Batavia, selanjutnya bersama 63 orang pengikutnya diasingkan Belanda sebagai tahanan politik ke Minahasa Sulawesi Utara. Kyai Mojo tiba di Tondano pada tahun 1829 hingga meninggal di sana pada tanggal 20 Desember 1848. Saat ini Jaton tetap eksis berdampingan dengan kampung-kampung lainnya dengan damai.
Toleransi antar umat beragama sangat terjaga di Minahasa dan Sulawesi Utara (Sulut) pada umumnya. Selain karena kesadaran bottom-up, juga karena secara kelembagaan institusi agama di Sulut mampu menghadirkan sebuah wadah komunikasi dan dialog antar umat beragama yang diberi nama Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) pada 25 Juli 1969 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No 91/KPTS/1969. Lembaga ini hadir hingga ke tingkat Desa/Kelurahan, jauh sebelum hadirnya lembaga serupa bersifat nasional, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) 27 September 2007 melalui pertemuan antara para tokoh agama dan pemimpin majelis keagamaan serta pengurus BKSAUA Sulut.
Kultur toleransi kehidupan umat beragama di Minahasa dan Sulut yang demikian kuat, Â merupakan akar kultural sila pertama Pancasila.
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Â Si Tou Timou Tumou Tou
Filosofi kemanusiaan tou (orang) Minahasa yang diperkenalkan salah satu founding father Bangsa Indonesia, Sam Ratulangi yaitu Si Tou Timou Tumou Tou menjadi kekuatan kultural sila kedua Pancasila.  Si Tou Timou Tumou Tou atau sering disingkat ST4, artinya Manusia itu hidup untuk memanusiakan (menghidupkan) manusia lainnya.
Kultur atau adab memanusiakan manusia dalam masyarakat tradisional Minahasa diimplementasi dalam banyak hal.  Dapat disebutkan disini diantaranya adalah adanya budaya saling membantu sesama (masawang-sawangan), saling mengangkat sesama (matombol-tombolan) saling mengasihi (maupus-upusan), saling mendengar (malinga-lingaan) dan saling hidup rukun (maleos-leosan).  Sesama adalah sesama manusia tanpa mengenal latar belakang. Karena masyarakat Minahasa selain bersifat terbuka dan toleran, juga menganut paham egaliter, persamaan derajat (masuat waya). Di bidang pemanusiaan melalui pendidikan, sejak dahulu budaya bersekolah (sumekolah) menjadi bagian peradaban masyarakat Minahasa, hingga kemudian HN Sumual, seorang tokoh Minahasa memperkenalkan istilah Baku Beking Pande (saling mencerdaskan sesama).  Bagi  saya hal-hal ini menjadi akar kultural bagi kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia: Maesaan dan Torang Samua Basudara
Kultur persatuan tak bisa diragukan lagi dalam kehidupan masyarakat Minahasa. Sebelum berkomitmen dalam arak-arakan Nusantara dan Indonesia, Minahasa merupakan sebuah bangsa dengan berbagai suku bangsa. Nama "Minahasa" berasal dari kata Mina-esa yang berarti menjadi satu. Bangsa asing ketika datang di Minahasa justru menyebut Minahasa sebagai sebuah "republik kecil" setelah melihat struktur pemerintahan republica ala Minahasa.Â
Minahasa kemudian terlibat dalam usaha bersama melawan penjajah. Serial peristiwa heroik perang orang Minahasa di Tondano yang kemudian dikenal sebagai Perang Tondano sejak 1661 dan memuncak Tahun 1809 serta  Peristiwa Merah Putih 14 Februari  1946 adalah contohnya. Kontribusi Minahasa dalam momentum kebangsaan sejak pra kemerdekaan hingga kini membuktikan bahwa semangat persatuan Indonesia telah mengakar dalam diri rakyat Minahasa.
Masyarakat Minahasa bahkan Sulawesi Utara benar-benar telah merasa sebagai bagian dari NKRI, telah menjadi minaesa dengan NKRI. Perekat Persatuan Indonesia adalah filosofi persaudaraan tanpa batas. Manusia Minahasa kental dengan semangat persaudaraan dan solidaritas. Oleh  EE Mangindaan saat menjabat sebagai Gubernur, filosofi itu diperkenalkan dengan semboyan: Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara).
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan: Â Pionir Demokrasi Indonesia hingga Pemilu Pertama
Akar kultural kerakyatan dalam permusyawaratan perwakilan dalam kehidupan masyarakat Minahasa sudah ada sejak dahulu. Daerah multietnik ini terbentuk karena musyawarah di sebuah  lokus yang dikenal dengan Watu Pinawetengan (Batu Tempat Pembagian). Kala itu tercapai kesepakatan untuk bersatu dan membagi wilayah diantara etnik Minahasa jauh sebelum Indonesia Merdeka, bahkan sebelum istilah Indonesia lahir.Â
Demokrasi prosedural telah ada di daerah Minahasa yang tak mengenal sistem kerajaan. Pemimpin kampung (ukung tu'a, hukum tua) dipilih langsung oleh masyarakat. Struktur lembaga pemusyawaratan tempo dulu di Minahasa telah ada dengan sebutan Dewan Wali Pakasaan yang merupakan forum tertinggi dalam struktur masyarakat Minahasa tempo dulu. Struktur lembaga perwakilan itu kemudian digantikan oleh Minahasa dengan Dewan Minahasa (Minahasa Raad), yang kemudian menjadikan praktek Pemilu pertama di Indonesia pra kemerdekaan berawal dari Minahasa. Pasca Kemerdekaan, Pemilu pertama Indonesia sebenarnya bukanlah Pemilu 1955. Tahun 1951 di Minahasa (dan Yogyakarta) telah dilaksanakan Pemilu. Tahun 1948 dalam catatan-catatan sejarah, di Minahasa juga dilaksanakan Pemilu.
Tak heran jika kemudian, Â Minahasa dikenal sebagai pioner demokrasi Indonesia. (Baca: Sketsa Awal Sejarah Demokrasi di Minahasa).
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Mapalus
Selain sifat egaliter masyarakat Minahasa, akar kultural kehidupan sosial yang adil tumbuh dalam kultur gotong royong versi Minahasa, Mapalus. Saya sempat menguraikannya dalam konten ke -96: Mapalus, Kultur Old Normal Melawan Pandemi, Menjemput New Normal.Â
Mapalus merupakan kultur dan struktur kerjasama dalam kelompok masyarakat yang awalnyatumbuh dalam dunia pertanian tetapi kemudian berkembang dan menjadi falsafah hidup masyarakat Minahasa.
Dari uraian-uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa Pancasila telah lama berakar dalam kultur dan peradaban Minahasa dan Sulawesi Utara, dan dengan masih bertahannya kultur tersbut di tengah terpaan "imperialisme baru", maka akar kultural Pancasila di bumi Minahasa dan Sulawesi Utara akan tetap memberikan kontribusi bagi mekarnya Pohon Indonesia, kini dan kedepan, sebagaimana perannya dahulu  ketika Pancasila dan Indonesia masih dalam persemaian.
Akar kultural tersebut, akan menjadi kekuatan bangsa dalam segala tantangan termasuk menghadapi situasi pandemi Covid-19. Kultur bangsa yang kuat adalah "imun peradaban" melawan infiltrasi "virus-virus global"
Selamat Hari Lahir Pancasilaku.... Tetaplah menjadi akar yang kuat bagi tumbuh kembang Pohon Indonesia.... kekal dan abadi!
===
Meidy Yafeth Tinangon, WNI tinggal di Minahasa, Sulawesi Utara
*) Artikel ini merupakan konten ke 100 di Kompasiana.comÂ
**)Â Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila" oleh mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh BPUPKI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H