Kultur atau adab memanusiakan manusia dalam masyarakat tradisional Minahasa diimplementasi dalam banyak hal.  Dapat disebutkan disini diantaranya adalah adanya budaya saling membantu sesama (masawang-sawangan), saling mengangkat sesama (matombol-tombolan) saling mengasihi (maupus-upusan), saling mendengar (malinga-lingaan) dan saling hidup rukun (maleos-leosan).  Sesama adalah sesama manusia tanpa mengenal latar belakang. Karena masyarakat Minahasa selain bersifat terbuka dan toleran, juga menganut paham egaliter, persamaan derajat (masuat waya). Di bidang pemanusiaan melalui pendidikan, sejak dahulu budaya bersekolah (sumekolah) menjadi bagian peradaban masyarakat Minahasa, hingga kemudian HN Sumual, seorang tokoh Minahasa memperkenalkan istilah Baku Beking Pande (saling mencerdaskan sesama).  Bagi  saya hal-hal ini menjadi akar kultural bagi kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia: Maesaan dan Torang Samua Basudara
Kultur persatuan tak bisa diragukan lagi dalam kehidupan masyarakat Minahasa. Sebelum berkomitmen dalam arak-arakan Nusantara dan Indonesia, Minahasa merupakan sebuah bangsa dengan berbagai suku bangsa. Nama "Minahasa" berasal dari kata Mina-esa yang berarti menjadi satu. Bangsa asing ketika datang di Minahasa justru menyebut Minahasa sebagai sebuah "republik kecil" setelah melihat struktur pemerintahan republica ala Minahasa.Â
Minahasa kemudian terlibat dalam usaha bersama melawan penjajah. Serial peristiwa heroik perang orang Minahasa di Tondano yang kemudian dikenal sebagai Perang Tondano sejak 1661 dan memuncak Tahun 1809 serta  Peristiwa Merah Putih 14 Februari  1946 adalah contohnya. Kontribusi Minahasa dalam momentum kebangsaan sejak pra kemerdekaan hingga kini membuktikan bahwa semangat persatuan Indonesia telah mengakar dalam diri rakyat Minahasa.
Masyarakat Minahasa bahkan Sulawesi Utara benar-benar telah merasa sebagai bagian dari NKRI, telah menjadi minaesa dengan NKRI. Perekat Persatuan Indonesia adalah filosofi persaudaraan tanpa batas. Manusia Minahasa kental dengan semangat persaudaraan dan solidaritas. Oleh  EE Mangindaan saat menjabat sebagai Gubernur, filosofi itu diperkenalkan dengan semboyan: Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara).
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan: Â Pionir Demokrasi Indonesia hingga Pemilu Pertama
Akar kultural kerakyatan dalam permusyawaratan perwakilan dalam kehidupan masyarakat Minahasa sudah ada sejak dahulu. Daerah multietnik ini terbentuk karena musyawarah di sebuah  lokus yang dikenal dengan Watu Pinawetengan (Batu Tempat Pembagian). Kala itu tercapai kesepakatan untuk bersatu dan membagi wilayah diantara etnik Minahasa jauh sebelum Indonesia Merdeka, bahkan sebelum istilah Indonesia lahir.Â
Demokrasi prosedural telah ada di daerah Minahasa yang tak mengenal sistem kerajaan. Pemimpin kampung (ukung tu'a, hukum tua) dipilih langsung oleh masyarakat. Struktur lembaga pemusyawaratan tempo dulu di Minahasa telah ada dengan sebutan Dewan Wali Pakasaan yang merupakan forum tertinggi dalam struktur masyarakat Minahasa tempo dulu. Struktur lembaga perwakilan itu kemudian digantikan oleh Minahasa dengan Dewan Minahasa (Minahasa Raad), yang kemudian menjadikan praktek Pemilu pertama di Indonesia pra kemerdekaan berawal dari Minahasa. Pasca Kemerdekaan, Pemilu pertama Indonesia sebenarnya bukanlah Pemilu 1955. Tahun 1951 di Minahasa (dan Yogyakarta) telah dilaksanakan Pemilu. Tahun 1948 dalam catatan-catatan sejarah, di Minahasa juga dilaksanakan Pemilu.
Tak heran jika kemudian, Â Minahasa dikenal sebagai pioner demokrasi Indonesia. (Baca: Sketsa Awal Sejarah Demokrasi di Minahasa).
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: Mapalus
Selain sifat egaliter masyarakat Minahasa, akar kultural kehidupan sosial yang adil tumbuh dalam kultur gotong royong versi Minahasa, Mapalus. Saya sempat menguraikannya dalam konten ke -96: Mapalus, Kultur Old Normal Melawan Pandemi, Menjemput New Normal.Â