Pandemi Covid-19 sudah nyata dan jelas menjadi ancaman bahkan musuh kekinian bangsa. Namun, tak hanya pandemi, ada  hal lain lagi yang harus kita lawan. Jika tidak, maka hal lain tersebut akan mendegradasi eksistensi anak bangsa. Seperti apa musuh itu? dan bagaimana upaya perlawanan kita?
Kita menghadapi imperialisme atau penjajahan baru yang membonceng globalisasi. Dalam situasi kekinian global, imperialisme tidak hanya berwujud penjajahan dan perang sebagaimana pernah kita alami sebelum proklamasi kemerdekaan, dimana terjadi upaya penguasaan teritori tertentu. Imperialisme baru tersebut hadir dalam berbagai wujud dan penyamaran.
Menariknya, imperialisme tersebut meng-ada dalam situasi sosial yang lagi asyik meneguk madu modernitas, kesenangan dan euforia terhadap produk teknologi dan tayangan media, anak-anak globalisasi. Bangsa kita dalam keasyikannya menikmati kemajuan peradaban tersebut, tanpa sadar telah terkungkung dalam penjajahan zaman yang hadir dalam berbagai wujud. Bangsa Indonesia, tanpa sadar sedang dijajah.
"Teritori identitas" Indonesia kabur atau bahkan dapat disebut kehilangan identitas, akibat instalasi budaya asing yang terus melakukan degradasi dan regresi kultur bangsa.
Proses degradasi dan regresi yang terjadi, sejak masuknya budaya asing seiring datangnya bangsa-bangsa asing untuk tinggal menetap di Bumi Nusantara yang merupakan suatu hal yang tak dapat kita hindari di era global yang meruntuhkan batas dan sekat antar bangsa.
Kemajuan teknologi informasi dewasa ini, disatu sisi merupakan hal yang positif, namun disisi lain menjadi musuh dalam selimut.
Apa dampaknya?
Indonesia kita kenal memiliki kekayaan budaya, kearifan-kearifan luhur dan unggul yang berwujud nilai kebersamaan dan kemanusiaan yang sebenarnya menjadi kekuatan kita.
Tetapi, jika kita menelisik jauh ke dalam sendi kehidupan berbangsa, kita akan menemukan karakter-karakter yang kontras yang kemudian sangat dominan dalam ke-Indonesiaan masa kini.
Sebut saja, sikap individualisme yang kontras dengan semangat gotong royong,  budaya 'instant', cari gampang, budaya shortcut atau jalan pintas, yang kontras dengan nilai-nilai kerja keras dan sikap sebagai bangsa pejuang.