Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Separuh - Fatamorgana Sorga

11 Juni 2022   20:08 Diperbarui: 11 Juni 2022   20:42 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Kenapa akhir-akhir ini tak tampak lagi senyum di wajahmu setiap kali menapakkan kaki di rumah, Ka."
Setelah yakin pertanyaanku tidak mengusiknya, aku menatap lekat-lekat wajah yang tertunduk dan sendu itu.
"Padahal dari awal aku berada di rumah ini, cahaya senyum dari wajahmu itulah yang membuatku mampu menaiki satu persatu tangga rumah," lanjutku.

Dengan perasaan tegang dan dipenuhi kekhawatiran aku menunggu jawaban dari lelaki penyabar di sebelahku.

"Senyum yang coba kupaksakan hadir setiap melewati pintu rumah telah dihabisi mata dari tungku yang setiap hari diembuskan angin-angin kemarau. Meskipun saat ini belum waktunya bermusim." Kaka menghembuskan napas kuat-kuat seakan ingin membuang sesak dari dadanya.
Lalu katanya lirih, "dan membakar hatiku sendiri, Nda."

Aku diam saja kalau kujawab, aku memahami perasaannya. Kaka pasti mengantaiku kalau sok bijak. Bukankah selama ini justru aku lah yang belajar darinya perihal memahami semua yang terjadi di rumah ini. Namun sebagai seseorang yang pada awalnya membangkitkan kegelisahan di hatinya lalu merubahnya untuk sekedar bersuara. Kumasukan satu kalimat penguat untuknya.

"Itu bukan berarti kau menjadi tidak peduli dengan Ibumu, Ka." Aku berkata sangat hati-hati, takut kalau nantinya benar melukai lelaki berperasaan lembut ini.

"Bagaimanapun Ibu tak akan mengerti, yang tampak hanyalah keacuhan. Jika diam masih menjadi satu-satunya kehormatan yang kau pegang, Ka. Aku akan bicara malam ini."

Kutinggalkan lelaki penyayangku sendiri merukuni sepi. Terpesona aku dengan kesabaran yang dimilikinya. Hingga saat kemarahan menjarah seluruh kekuatan, ia masih bisa duduk dengan tenang.
"Sungguh banyak permata yang bisa diberikan olehnya, untuk menyinari rumah ini," pikirku.

Begitulah perbincangan malam ini. Kegamangan Kaka telah menjadi cambuk untukku berteriak. Sudah saatnya bersuara, sudah waktunya kami didengar.

Hampir tidak percaya, Ibu selalu memanggilku untuk sekedar meminta menuntun ke kamar mandi. Meskipun Bapak ada di sampingnya, dan Zainul sedang asyik bermain dengan telepon pintar di kamar depan.

"Setelah mengantar ke kamar mandi, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, Bu." Kududukan perempuan bertubuh kurus itu di sandaran tempat tidur. Semenjak serangan jantung yang nyaris merenggut nyawanya beberapa bulan lalu, secara otomatis berat badannya berangsur-angsur menyusut. Namun, tidak dengan kebenciannya kepadaku. Inilah saatnya pikiran itu harus dibebaskan dari api-api yang masih bergoyang-goyang.

"Alangkah lebih kuatnya tenaga Mas Kaka yang memapah ke kamar mandi, Bu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun