Sudah berlinting-linting sigaret, kita remas menjadi abu. Asap putih membumbung ke langit-langit. Putung tergeletak pilu, di antara gelak tawa kita memasak air mata.Â
Senja yang indah, Sayang. Dan kulihat camar kebingungan, nampak lepas namun tergantung di kelam matamu. Dari tatapan itu berlompatan wajah bocah bermain gundu ke perlintasan rel kereta yang panjang. Sekali lagi kubaca gurat gelisah, menggambarkan dua wajah sama yang saling melupakan.Â
"Pulanglah .... Air sepersusuan masih lebih asin dari buih gelombang kehidupan, Za."
 Aku tak begitu bodoh, Sayang. Sampai tak mengenali warna merah di ujung sigaret dengan luka yang berdarah, bekas sobekan perpisahan. Lagi-lagi sepi menghampiri sunyi. Sekali lagi aku tidak begitu bodoh menangkap gusar yang kau sembunyikan dibalik tembok bisu senja ini. "Berkeluhlah ...."Â
Surabaya, Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H