"Tak-tik-tak," suara burung di dalam sangkar mengingatkan sang penyair pada rutinitasnya kemarin-kemarin. Sang penyair tersenyum, "ada-ada saja burung bisa bersuara mesin ketik."
Dia teringat beberapa waktu lalu salah satu cerpennya dimuat di sebuah media online. Cerpen yang menceritakan tentang penyair yang menikahi kematian. Tulisannya itu dimuat tanpa menunggu lama, Satu bukti lagi cerita tentang cinta, kesepian, dan patah hati masih memiliki daya pikat di mata pembacanya.
Mereka tidak tahu bagaimana jalan sebuah cerita dituliskan, perasaan apa yang tertulis, tidak semerta-merta rekaan saja. Perlu pembelajaran khusus sehingga pembaca bisa terhanyut dalam menyingkap kata per kata. Tapi ia bisa apa selain hanya menuliskan cerita kesedihan, patah hati, dengan kesendiriannya, karena hanya dengan cerita-cerita itu dia bisa makan.Â
Sang penyair terduduk di halaman rumah, dengan beberapa sangkar burung bergelantungan di sudut-sudutnya. Sementara motor keluaran terbaru perusahaan otomotif terkenal di negara ini, terparkir cantik di halamannya yang luas.
Cantik dan bersih, motor itu sudah mandi bahkan sebelum sang penyair menggosok gigi. Kemarin-kemarin di jam seperti ini biasanya ia sedang sibuk menjerang air untuk secangkir kopi sebagai peneman selinting rokok pemberian sang bapak sebelum pergi ke ladang. Kini tidak lagi.Â
Ia bersiul-siul mengiringi lagu Scared to be lonely yang terdengar dari dalam kamar. Satu set alat musik itu kini menjerit sendirian. Sementara kata-kata terlempar begitu saja. Sang penyair tak lagi punya waktu untuk memungut, atau sekali saja membantunya merangkai sebuah kata.
"Mas, bisa antarkan aku ke pasar?"Â
Seorang perempuan muda tersenyum manja menggelayut di pundaknya yang kosong.
"Oke, siapa takut."Â
Sang penyair bersungut penuh semangat. Tak lupa di hadiahkan satu cubitan lembut di dagu sang perempuan muda. Gambaran pagi yang menyenangkan.Â