Ayah, apakah ada satu tangga di dunia ini yang bisa mengantarkanku ke surga? Yang kausembunyikan di ruangan sumpek. Di mana kanan-kirinya hanya tumpukan buku-buku tua dengan ribuan rayap memamah biak.
Ayah, di kamar sumpek ini. Sesungguhnya hanyalah tempat pengasingan dunia, yang kau ciptakan meskipun kedua tanganmu telah menyatu dengan tanah.
"Mey, terus merawat lima kaki meja ini, tempat kau menunduk ketika atap rumah nyaris menyentuh kepala." Pesan terakhir itu keluar dari mulut kering musim kemarau terakhir di mataku. Setelahnya hujan turun begitu deras.
Buku-buku tua di kanan-kiri itupun tak sama sekali mengulurkan tangan, guna menghalau basah dari bumi tempatku berpijak. Sejatinya semua hanya menjadi senja-senja yang menyedihkan. Kehilangan usia ....
Kepadamu yang tak menunjukan satupun tangga menuju surga. Aku masih mempertahankan diri, berlama-lama merunduk sedang kedua tangan ingin menggapai atap rumah. Agar selekasnya merobohi tubuh dan menyatukanku dengan tanahmu. Meskipun nanti warna tanahnya berbeda.
Ah, Ayah aku melihat merah wajahmu, dengan garis-garis coklat di kening. Ketika dengan sengaja kuambil satu rayap dari tumpukan buku dan memindahkannya ke salah satu tiang meja, agar lekas patah. Hingga bisa kujadikan tangga ke surga. Maaf Ayah, ruangan ini terlalu sumpek hanya dengan satu kipas angin tanpa baling-baling.
Manukan, 22 Agustus 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI