[caption id="attachment_407087" align="aligncenter" width="558" caption="Jaya Suprana | Kompas.com/Roderick Adrian Mozes"][/caption]Bapak Jaya Suprana yang saya hormati, izinkan saya untuk menanggapi surat Bapak. Kita sama-sama Nasrani dan tidak sepemberani Pak Ahok. Saya bukan Tionghoa namun 10 dari 10 orang (Iya Pak, bukan 9 dari 10) yang melihat saya mengira saya Tionghoa. Waktu kerusuhan 1998 saya dilarang keluar oleh Ibu karena penyerang tak tanya KTP atau akte sebelum menghantam. Asal putih dan sipit ya diserang, begitu ya?
Lewat surat ini ada beberapa poin yang mau saya sampaikan. Pertama, tentang cara memaknai perjuangan Pak Ahok. Kedua, tentang kemungkinan huru-hara. Ketiga, tentang nyawa jika kerusuhan terjadi (saya sih sangat yakin tak akan ada kerusuhan). Keempat, konteks dan substansi kata-kata kasar Pak Ahok. Kelima, definisi ulang istilah ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ dan yang terakhir: Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pertama, cara orang memaknai perjuangan Pak Ahok. Ada pihak-pihak yang masuk ke isu SARA, mereduksi perjuangan Pak Ahok melawan korupsi menjadi perseteruan kaum minoritas versus mayoritas. Padahal kaum minoritas juga banyak yang dibuat susah Pak Ahok, ‘kan menyuap dan disuap bukan hanya hal yang dilakukan oleh kaum mayoritas? (Jangan lupa, kaum minoritas yang berdagang atau berbisnis kini mulai susah menyuap pejabat karena Pak Ahok rajin banget memecat anak buahnya yang korup). Dampak dari kesalahan memaknai perjuangan Pak Ahok ini membuat sebagian kaum minoritas jadi ketakutan dan berpikir bahwa bisa saja kelak ada kerusuhan.
Mari masuk ke poin nomor dua, yaitu tentang kemungkinan adanya huru-hara. Hati nurani tak kenal agama dan suku, Pak. Muslim, Kristen, Buddha, atheis, Jawa, Sulawesi, Kalimantan...Banyak yang lupa bahwa daerahnya juga punya gubernur. Semua mata kini mengarah ke Pak Ahok. Dukungan untuk beliau semakin deras. Jumlah daerah yang menolak FPI dan ormas sejenis kian banyak. Rakyat tak keberatan memilih Jokowi jadi gubernur padahal tahu wakilnya adalah kaum minoritas. Tentu itu adalah tanda bahwa rakyat sudah berpikiran maju. Beberapa daerah inden Pak Ahok. “Kalo udah ngga di Jakarta, di sini aja deh,Pak”, begitu mereka bilang. Kemungkinan terjadinya kerusuhan etnis seperti 1998 saya rasa 0,1% (Inginnya sih bilang 0% cuma kesannya kayak saya belagak jadi Tuhan). Lagipula kerusuhan 1998 itu hasil rekayasa,ya?Sikon sudah beda.Walau yakin tak akan ada huru-hara tapi saya coba mengakomodasi mereka yang berpikir bahwa minoritas akan diserang. Jadi, mari kita ke poin ketiga, yaitu tentang nyawa, dengan asumsi kaum minoritas akan diserang.
Pak Jaya yang baik, nasib saya belum pernah seburuk Bapak. Saya hanya pernah mengalami keluarga diteror dan diajak Ibu kabur ke hotel karena rumah akan digrebek aparat. Almarhumah Ibu saya adalah pendiri beberapa organisasi hak asasi manusia dan seperti Pak Ahok, urat takutnya sudah putus. Berulang kali nyawa Ibu ada di ujung tanduk. Sampai ke titik tertentu, saya paham rasa takut yang Bapak rasakan. Kalau kelak ada kerusuhan saya bisa kena, kok.
Cuma ya…Mau bagaimana lagi? Saat seseorang berjuang, yang kena imbas memang bukan hanya orang-orang di lingkaran terdalam. Ketika prajurit Indonesia menembaki penjajah, pasti ada orang tak bersalah yang lagi ngobrol dengan tetangga bernasib apes kena peluru lalu mati. Hidup dan mati Tuhan yang atur. Saya dulu yakin Ibu akan mati di tangan aparat, ternyata beliau meninggal karena stroke.Sekali lagi, saya pribadi percaya tak akan ada kerusuhan. Saya menulis bagian ini untuk mengingatkan mereka yang sedemikian takutnya akan kemungkinan huru-hara:”Hei teman, nyawa kita bukan kita yang atur”.
Poin keempat berkaitan dengan kata-kata Pak Ahok yang sangat kasar. Beliau ngamuk ke koruptor karena marah melihat kemunafikan dan kerakusan mereka. Kurang dari 24 jam Pak Ahok minta maaf ke publik. Sementara itu anggota dewan berteriak ban*sat, Cina dan anj*ng, karena ngamuk proyek-proyeknya diberangus Pak Ahok. Sampai saat ini, jangankan minta maaf, ngaku aja dirinya siapa, dia tidak berani. Habib Rizieq atau pengikutnya juga sangat kasar ketika menghujat Pak Ahok.
Cobalah lihat demo dukung Pak Ahok dan demo anti Pak Ahok, ada jauh lebih banyak kata kasar berhamburan saat demo yang terakhir. Dia tak suka Pak Ahok hanya karena Pak Ahok suka bicara kasar? Ah, jangan naïf. Kita semua tahu FPI ingin menurunkan Pak Ahok karena beliau berani, tak mau main uang, kafir dan sipit. DPRD ngamuk dan bawa-bawa istri dan ibunya Pak Ahok sedangkan Pak Ahok saat ngamuk fokus ke masalah. Nah, itu bagaimana? Saya heran kenapa Bapak mengutip pernyataan Habib Rizieq. Lha jauh sebelum Pak Ahok bicara kasar, dia sudah sering teriak-teriak provokatif saat demo. Sebaiknya Bapak fair, alat ukur yang dipakai untuk menilai Pak Ahok, yaitu kata-kata kasar, pakailah juga untuk mengukur lawan-lawannya.
Poin kelima, bagaimana kalau kita mendefinisi ulang kata ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’? WNI ya WNI, semua dilindungi Undang-Undang. Lagipula jumlah Tionghoa bukan yang paling sedikit, di Indonesia Betawi dan Batak lebih sedikit dibandingkan Tionghoa.Selama ini ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ dikaitkan dengan ras dan agama. Bagaimana kalau kedua istilah itu dikaitkan saja dengan respons atau keterlibatan kita dalam isu atau dunia politik ? Banyak yang tak peduli:”Ngapain sih ngurus Ahok ? Kenapa marah saat pengamat ngomongnya ngaco? Lha yang diomongin bukan bapak gue, ngapain peduli ? Gue aja kerja sampe lembur ngapain ngurus kerjaan orang ?” Nah, kita sebut saja mereka silent majority. Yang mencoba untuk memberi sumbangsih aksi atau pemikiran, entah dalam skala besar atau mungkin hanya bisa berkontribusi kecil-kecilan karena dikungkung oleh berbagai keterbatasan, kita sebut saja active minority. Bisa juga dibalik: Kalau yang aktif banyak ya disebut active majority. Bagaimana pendapat Bapak ?
Sekarang masuk poin terakhir, apa yang sebaiknya kita lakukan? Pak, lebih baik Bapak dan saya mengajak rakyat mendobrak status quo. Daripada menyebar benih ketakutan dan pesimisme, mari kita didik generasi selanjutnya agar tak betah mendekam di zona nyaman. Buka mata mereka untuk melihat jauh ke depan bahwa orang Bali bukan hanya bisa jadi pemahat tapi juga bisa jadi pemimpin, orang Padang bukan hanya bisa buka lapak, orang Tionghoa bukan hanya bisa jualan…Siapapun bisa jadi apapun asal mau dan mampu. Terkesan utopis ? Untuk jadi pemimpin orang memang harus jadi pemimpi terlebih dahulu,Pak. Dreams are what the future made of.
Bapak juga pandai menulis. Cobalah ajak pembaca untuk memahami konteks dan substansi kalimat Pak Ahok. Saya tak suka denga kata-kata itu namun harus diakui bahwa sebagian orang biasa melontarkannya sambil ketawa-ketawa. Sementara, belum pernah ada cerita tentang uang dijarah dan pemiliknya bisa ketawa-ketawa. Jadi, lebih baik Bapak meributkan 40 trilyun uang rakyat yang dijarah hanya dalam 3 tahunan. Mintalah mereka berhenti menjarah, baru lalu urus pilihan kata Pak Ahok. Minimal, tunjukkanlah kepedulian kita terhadap cara bicara Pak Ahok seraya juga mengutuk kejahatan lawan-lawannya.