Cermatilah hasil survey berbagai lembaga seminggu belakangan ini dan kita akan tahu bahwa walau dibenci partai, Ahok eksis jadi pemimpin kesayangan warga. Tentu bukan hanya partai yang tak menyukai dirinya. Aktivis yang kekurangan pemasukan karena orang miskin mulai sulit dijadikan komoditi, akademisi yang aliran uangnya macet karena proyek yang menjadikan dirinya konsultan dihentikan Ahok, konglomerat yang usahanya ditutup karena melanggar aturan, korban banjir yang terpaksa pindah ke rusun sehingga mereka harus bekerja untuk bisa makan dan tak lagi bisa memilih menu dari donatur saat banjir tiba….
***
Jika tukang bakso melintasi jalanan dan ditabrak anak menteri, siapa yang salah ? Hampir pasti semua jari akan menunjuk kepada anak menteri. Padahal, siapa tahu anak menteri itu sudah ikut aturan dan tidak mabok ataupun ngantuk. Siapa tahu si tukang bakso baru saja menenggak berbotol-botol minuman keras dan mendorong gerobak dalam kondisi teler.
Namun, ya begitulah…Sadar atau tidak, ada banyak orang yang mengidentikkan kemiskinan dengan kebenaran. Bisa jadi karena untuk kaya di negara ini butuh ketrampilan melanggar yang amat tinggi dan kerelaan menjilat yang bikin perut mual. Bisa jadi karena orang miskin selalu dipandang sebagai korban dan bukan pelaku. Banyak yang lupa bahwa orang kaya bisa benar dan orang miskin bisa salah.
Lalu, di tengah situasi seperti itu, muncullah seorang Ahok. Matanya yang hanya segaris, kulitanya yang putih dan kebiasaannya mengenakan sepatu Bally membuat penampilannya terkesan elit walau sangat jauh dari kesan flamboyan seperti foto model. Tak heran, banyak yang meradang saat beliau melakukan penggusuran. Dari kalangan aktivis, yang mencuat ke permukaan biasanya adalah isu ‘Ahok’ versus ‘orang miskin’, bukan isu ‘kenapa harus digusur’ vs ‘kenapa seharusnya tidak digusur’.
Tentu yang murka pura-pura lupa bahwa ada banyak orang kaya yang tak bisa lagi menyuap sejak Ahok jadi gubernur, konglomerat pun disegel usahanya oleh Ahok. “Keputusan gue nyenggol orang dari semua tingkat ekonomi”, begitu Ahok pernah bicara di Program Kick Andy.
Ahok bukan hanya berhadapan dengan orang kaya yang kerap menggunakan hartanya untuk menerobos aturan, beliau juga berurusan dengan orang miskin yang terbiasa menggunakan kemiskinannya sebagai pembenaran untuk melanggar peraturan. Dengan gaya yang tak elegan karena yang dihadapi memang bandit yang tak bisa dihadapi dengan manis, Ahok lantas menunjukkan kepada warga bahwa keberpihakannya bukanlah pada siapa yang kaya atau siapa yang miskin. ”Gue taat konstitusi, bukan taat konstituen. Konstituen ‘kan banyak, puyeng pala gue”, tuturnya di berbagai kesempatan wawancara dengan wartawan.
Jadi jelas, keberpihakan Ahok bukanlah pada konglomerat atau kaum papa. Keberpihakannya sebagai pemimpin adalah pada apa yang benar.
Dan, pemimpin itu hari ini berulangtahun.