Mohon tunggu...
mei bee
mei bee Mohon Tunggu... -

still working far away from city, monday to saturday, everyday in the jungle....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bu Agung Selingkuh (Part 1)

22 Mei 2010   08:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:02 1794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_147342" align="alignright" width="132" caption="http://stat.kompasiana.com/files/2010/05/gossip.jpg"][/caption]

Sudah dua minggu belakangan, Bu Agung menjadi pokok pembicaraan di lingkungan sekitar rumahnya. Memang selayaknya ibu-ibu kompleks alias bukom yang dari pagi sampai sore ada di rumah, yang setelah sibuk menyiapkan sarapan pagi, menyuruh emban-embannya ke pasar dengan sederet daftar belanjaan dan ketika ada satu saja belanjaannya yang kurang satu ons akan merubah raut wajahnya hingga dua tiga hari kedepan, yang jika jam sudah lebih dari pukul tujuh malam sang suami belum juga sampai di rumah dan handphone dari berbagai tipe, merek dan jenis di tergenggam dan hampir teremas di tangannya dan menelepon suaminya yang sedang berkutat dengan kemacetan Jakarta menginjak kopling sampai kaki kirinya pegal kesemutan tapi harus tetap bertahan dan menahan segala perasaan karena jika menolaknya malah akan merusak dan merugikan diri sendiri. Huh…begitulah kehidaupan di komplek dimana Bu Agung tinggal, dan tidak berbeda dengan sore-sore sebelumnya dalam kurun waktu dua minggu ini. Bu Agung lebih sering terlihat seorang diri. Dan dari balik pagar atau dari bawah pohon sebelah yang rindang, ibu-ibu tetangganya yang terbagi dalam beberapa kelompok antara lain Bu Ridwan yang sedang menunggu Pak Ridwan yang biasanya pulang paling cepat karena motor bebek bertenaga kuda yang dimilikinya dapat meliuk-liuk dan menari diantara deretan-deretan si roda empat disekitarnyayang ditemani oleh Bu Syaiful yang tidak bisa menyembunyikan raut wajah kesalnya karena tadi pagi ketika Pak Syaiful berangkat kerja dan baru keluar pagar rumah dia mendapati telepon genggam suaminya ketinggalan di atas meja makan dan naluri keistriannya membuatnya melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin dan tidak pernah sebelumnya melintas di pikirannya untuk dilakukan, Bu Syaiful membuka kotak masuk pesan pendek di telepon genggam suaminya, dan yang ditemukannya adalah pesan pendek dari seseorang bernama Ardi. Bukan masalah melihat nama yang tertera disana, yang menjadi masalah adalah ketika ternyata kata-kata yang tercantum dan tertuliskan di dalam pesan pendek itu adalah kata-kata yang membuat Bu Syaiful mengira-ngira nama panjang si Ardi ini, apakah Ardiani? Ardianti? Ardillia? Atau??? Kiranya Pak Syaiful cepat pulang agar semua pertanyaan itu terjawab dan dapat mengembalikan raut wajah Bu Syaiful yang tak dapat tertuliskan oleh kata-kata dan tak dapat terlukiskan oleh kuas dan tinta Picasso sekalipun, dan sementara menunggu datangnya Pak Syaiful yang belum pernah dia nantikan kedatangannya seantusias ini, ada baiknya dalam hati Bu Syaiful untuk menyambung episode hari sebelumnya, bersama Bu Ridwan, alih-alih Pak Ridwan datang dan tidak sempat lagi menyelesaikan episode kesekian yang jalan cerita dengan tokoh utama Bu Agung itu mungkin tak akan selesai.

Jadi, begini ceritanya. Cerita ini berawal dari Bu Pras yang rumahnya berada tepat disebelah Bu Agung. Bu Pras yang saat ini sedang duduk santai dengan daster batiknya yang terkadang melambai-lambai di bawah pohon Angsana rindang di depan rumahnya ditemani oleh Bu Wulan janda beranak tiga yang dulu sering dipanggil Bu Hestu, tentu saja karena nama suaminya Pak Hestu, tapi semenjak Pak Hestu menginggal dunia di sebuah hotel kelas pinggiran (mungkin lebih tepat jika dituliskan sebagai motel) tiga tahun silam dan meninggalkannya seorang diri dengan berbagai persoalan dan keruwetan dan harga diri yang terinjak-injak, nama suaminya dan segala jenis tetek bengek yang berhubungan dengan suaminya dihapuskan dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Untunglah Bu Pras selalu ada disisinya, membantunya memulihkan diri dan mengembalikan kepercayaan diri Bu Wulan, karena bagaimanapun juga ketiga anaknya yang masih kecil sangat membutuhkan seseorang untuk menemani mereka tumbuh dan berkembang. Sayangnya Bu Wulan yang memang masih muda, seksi, sintal dan menggiurkan terkadang tidak dapat menahan perasaan dan naluri kewanitaannya.

Bersambung…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun