Pagi.
Dan aku masih menghirup udara yang sama hari ini. Udara pengap kota metropolitan. Udara yang sama sekali tidak meniupkan kebahagiaan untukku. Sedikit pun. Belaiannya kasar, mencabik-cabik seluruh komponen dalam tubuhku. Membuatku kian remuk dan hancur.
Ucapannya singkat, ringan dan datar ketika mengabarkan bahwa Rofa menderita kanker paru-paru stadium akhir. Ia tak mampu berkata lain saat kutanya apakah penyakit itu ada obatnya.
“Bahagiakan Mbak Rofa, Mas.” Begitu kata Dokter Yola, dokter muda yang menangani Rofa.
Aku tergugu, tak mampu menanggapi sedikitpun. Ku lirik tirai usang di ujung ruangan. Di balik tirai itu Rofa terbaring lemah menahan rasa sakitnya. Tubuhnya sekarang mengurus. Matanya cekung. Bibirnya letih. Wajahnya lelah.
“Itu berarti Dokter dan tim sudah angkat tangan?” tanyaku akhirnya.
Dokter Yola menggeser duduknya. Sedikit menghela nafas panjang. Aku tahu ini sulit untuknya menyampaikan padaku. Tapi aku mohon, sampaikanlah, Dok!
“Kondisi Mbak Rofa sudah sangat...”
“Parah?” pangkasku.
“Untuk saat ini yang kami bisa lakukan hanya mengambil cairan yang memenuhi paru-parunya. Dengan resiko memang nutrisi di dalam tubuhnya ikut terhisap. Kalau kemoterapi, maaf, kami tidak mampu melakukannya. Kondisi Mbak Rofa yang sangat lemah lebih beresiko untuk kemo. Seharusnya memang bisa, jika kondisi tubuh Mbak Rofa jauh lebih kuat dari pada kanker ini. Saya tidak tahu, apakah Mbak Rofa sedang mempunyai masalah sehingga kondisi tubuhnya kian melemah?”
Ucapan Dokter Yola menamparku keras-keras. Bersamaan itu terdengar dering telepon dari HP-ku. Aku menyingkir dari Dokter Yola dan ku terima telepon. Zennida marah-marah di teleponnya. Ia mengetahui keberadaanku ternyata. Dan Zennida mengancam akan menggugat ke pengadilan jika malam ini aku tidak pulang. Oh!