[caption caption="sumber gambar: kabarmuslimah.com"][/caption]
“Kita akan menikah, Nad.” Katanya penuh keyakinan. Aku hanya tersenyum malu menyembunyikan kegiranganku. Sudah kali keberapa ia mengucapkan kalimatnya itu di depanku, Mamaku, Abinya, teman-temanku, teman-temannya, dosen-dosenku dan di depan dosen-dosennya.
Dia terganteng dari jutaan lelaki menurutku. Begitu pula menurut teman-temanku. Aku dibilang sangat beruntung mendapatkan cinta dari lelaki bernama Ilyas itu. Sosoknya yang tinggi, kulit kecoklatan, senyum yang teduh, dan gayanya yang menawan, membuat banyak wanita terpikat padanya. Tapi toh pada akhirnya akulah wanita yang dipilihnya.
Hari-hari kami lewatkan dengan penuh kesukaan. Hampir setiap hari kami berbicara lewat telepon. Jarak rumah kami yang jauh tidak memungkinkan kami bertemu setiap waktu. Yah, meski masih satu kota. Sebetulnya Mas Ilyas bukan asli orang Jogja. Ia asli Makassar, besar di Palembang, kuliah di Jogja.
Di keheningan Stasiun Tugu Jogja. Waktu itu pukul 23.47. Kami sama-sama menunggu kereta Turangga untuk menghantarkan kami ke Bandung. Aku ada urusan studi dari kampus dan ia ada urusan keluarga. Ia menatapku penuh makna. Tatapan matanya membuat jantungku berdenyar kacau. Ah, rupanya aku jatuh hati pada Ilyas. Pria yang usianya tiga tahun di atasku. Di Bandunglah kami mulai dekat dan memutuskan untuk menjalin kisah kasih.
Kisah asmara sederhana itu kami bawa pulang ke Jogja. Kami tidak mengekspresikan rasa cinta yang meluap-luap tiap kali bertemu. Cukup tahu saja bahwa kami saling menyayangi. Sampai-sampai aku hampir melupakan siapa saja wanita yang juga menaruh hati pada Mas Ilyas, lelakiku.
Itu kusadari ketika beberapa minggu setelah kami berikrar akan melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan, ada teror dari beberapa orang kepadaku. Ada banyak email masuk, mencaciku, menyebutku wanita murahan, tak tahu diri. Lalu kemudian ku temukan sosok perempuan bernama Indah Sihombing di antara mereka. Rupanya semua wanita yang mencakar-cakarku kemarin adalah teman dekat Indah.
Indah sendiri adalah teman kuliah Mas Ilyas, satu angkatan. Ia cantik, tinggi, putih. Makanya aku pernah cemburu dan sempat marah ketika mendapati banyak foto Indah di handphone Mas Ilyas.
“Dia itu hanya teman biasa, selama ini ia memang begitu gigih mengejar-ngejar aku. Tapi aku tidak pernah mencintainya.” Terang Mas Ilyas yang membuatku percaya untuk menerima cintanya.
Tapi pada kenyataannya Mas Ilyas selalu dan selalu berhubungan intensif dengan Indah. Selama satu bulan di Bandung dan kami tinggal di satu kos, aku berkali-kali memergoki ia sedang bergelayut di gagang ponselnya. Ia bercakap-cakap manja dengan Indah. Bahkan Mas Ilyas menyebut Indah itu ‘calisha’, artinya calon istri shalihah. Apa maksudnya coba?