Dalam waktu satu minggu, dari tanggal 1 hingga 7 Agustus, berlangsung Pekan Menyusui Dunia (World Breastfeeding Week/WBW). Salah satu isu menarik yang diangkat adalah tentu saja tentang pemberian ASI Eksklusif pada buah hati. Berkaitan dengan itu, saya ingiiin sekali berbagi pengalaman saya saat berjuang memberikan ASI eksklusif untuk anak saya.
Saat melahirkan Fawfa, usia saya saat itu adalah 20 tahun. Sangat muda. Posisi saya saat itu masih menapaki semester 6 kuliah di salah satu universitas di Yogyakarta. Saya saat itu tidak berpikir mengambil cuti melahirkan. Entahlah, saya punya keyakinan bahwa saya akan segera sehat setelah melahirkan. Dan well, ternyata saya hanya butuh waktu beberapa hari untuk bolos melahirkan. Dan saya segera kembali ke kampus karena harus mengikuti serangkaian kuliah dan mengerjakan UAS saat itu.
Karena saya sudah merencanakan segera kembali ke dunia perkuliahan setelah melahirkan, makanya saya sudah prepare dari jauh hari untuk si Fawfa. Mulai dari kepada siapa dia saya titipkan, sampai soal ASI. Saat itu─sampai sekarang─saya sangat meyakini bahwa ASI adalah sumber nutrisi penting pada bayi. Komposisinya menunjang tumbuh kembang bayi. Di dalamnya terkandung antibodi alami yang dapat membantu dalam mencegah infeksi dan gangguan kesehatan pada bayi.
Karena keyakinan yang menggebu itu, akhirnya mindset saya terbentuk bagus bahwa saya HARUS memberi ASI Eksklusif untuk Fawfa. Kesempatannya hanya sekali seumur hidupnya. Dan ternyata keyakinan itu membuat ASI saya melimpah. Bahkan sudah keluar sejak usia kandungan 7 bulan. Setelah melahirkan, ASI saya sangat banyak. Sampai pada hari saya harus meninggalkan bayi merah itu untuk kuliah, saya berhasil menampung berbotol-botol ASI di freezer. (Saya sengaja membeli freezer untuk menampung ASI-P untuk Fawfa)
Ketika di kampus, saya membawa berbagai atribut perlengkapan memerah ASI. Mulai dari cooler bag, ice cool, botol-botol kaca, dan apron. Saya memerah ASI ketika jam-jam jeda antar mata kuliah. Biasanya saya memerah ASI di masjid lantai dua. Saya juga pernah memerah ASI di saat perkuliahan. Mudah saja karena saya memakai jilbab besar, sehingga tidak terlihat. Dan saya akan menitipkan ASI-ASI perahan itu ke kulkas milik warung makan samping kampus.
Semua terasa ringan dan menyenangkan karena motivasi saya, suami, dan keluarga untuk memberikan ASI Ekslusif untuk Fawfa sangatlah besar. Saya tak malu ketika pertama kali datang ke kampus dan teman-teman saya menyerbu cooler bag saya─dikira saya membawa jus buah─tapi ternyata isinya hanya botol-botol kaca dan ice cool. Saya juga tak marah dengan cibiran para tetangga cihua-hua yang meremehkan saya, dan mengatakan saya tak akan mampu memberi ASI Eksklusif untuk anak. Toh pada akhirnya saya  berhasil melewatkan masa emas 6 bulan Fawfa dengan ASI Eksklusif!
Wahai para Bunda, ASI eksklusif itu diberikan sejak bayi lahir ke dunia hingga berusia enam bulan. Selama periode tersebut, si babyhanya diberikan air susu ibu saja, tanpa tambahan asupan apa pun. Ingat, tanpa tambahan apa pun. Tanpa tambahan air putih, susu formula, apalagi nasi dan pisang. NO! Cuma ASI.
ASI ekslusif efektif bisa mencegah kematian bayi. Namun saat ini menurut survei, kesadaran memberi ASI eksklusif semakin berkurang. Bahkan, masyarakat masih khawatir apabila yang diberikan pada bayi cuma ASI, itu tidak mengenyangkan. Ini membuat mereka menambah dengan susu formula ataupun air putih bahkan pemberian makanan pendamping ASI sebelum 6 bulan. Jelas ini merupakan kesalahan. Semoga Ayah dan Bunda yang membaca tulisan ini bukan termasuk mereka yang anti-ASI Eksklusif.
Salam sayang, Fawfa (3 tahun) dan Mama Anjar.
Yogya, 3 August 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H