Tentunya kita sudah tidak asing lagi terkait program pembangunan rumah bersubsidi yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) di bawah kepemimpinan Bapak Menteri Basuki Hadimuljono. Namun apakah program pembangunan rumah bersubsidi sudah tepat dan memuaskan masyarakat. Mari kita ulas bersama dalam artikel berita kali ini.
Pemberian program rumah subsidi yang dilakukan oleh pemerintah yakni memiliki maksud untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun apabila penyaluran subsidi tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, maka akan memberikan penyimpangan dan juga kesempatan dalam penyelewengan dana sehingga bisa saja menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Pemberian subsidi bagi pengembang perumahan perlu adanya hubungan antara akses perkotaan dengan daerah pengembang dengan dibantu oleh pembangunan infrastruktur untuk mencapai target dalam program pembangunan rumah bersubsidi. Sesuai dengan tujuan pogram Rumah bersubsidi yakni untuk membantu kebutuhan atau kepemilikan rumah pribadi bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR) yakni berupa rumah dengan harga dibawah harga pasar yang diberikan kepada mereka dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi.
Dalam pelaksanaan program ini, pemerintah memiliki tugas untuk mengalokasikan dana atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dan juga memberikan fasilitas permukiman yang yang layak tinggal bagi mereka.Â
Dikutip melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan  Rakyat Nomor 20/PRT/M/2014 tentang Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan Dalam Rangka Perolehan Rumah Sejahtera Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah pada Pasal 2 ayat (1) bahwa FLPP bertujuan untuk mendukung kredit/pembiayaan pemilikan rumah sederhana sehat (KPR RSH) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).Â
Perlu diketahui juga proses perwujudtan program ini diharapkan berjalan secara dynamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan tugasnya dengan dengan benar dan akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Presiden Joko Widodo memperkenalkan Kebijakan Program Sejuta Rumah yang bertujuan  untuk  memenuhi  kebutuhan  permukiman  bagi  masyarakat  berpenghasilan  rendah (MBR) yang telah diatur dalam perundang-undangan dan keputusan menteri serta pelaksanaannya melalui Departemen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPERA) dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
Fasilitas tersebut  lalu disalurkan Pengembang Perumahan sebagai penyedia unit Rumah bersubsidi.
Namun dalam kenyataan yang terjadi dilapangan, ditemukan beberapa kasus bahwa banyak rumah bersubsidi yang terjual bukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang telah ditetapkan sebagai target sasaran sehingga kebutuhan untuk masyarakat  berpenghasilan  rendah  tetap  belum  dapat dipenuhi.
Pemahaman makan subsidi menurut Rudi Handoko dan Pandu Patriadi (2005:43), adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah,
Standar dan sasaran kebijakan yang berjalan dalam program pembangunan rumah bersubsidi telah tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 20/PRT/M/2014 Pada Pasal 7 dijelaskan bahwa Kelompok Sasaran KPR Sejahtera harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Tidak memiliki rumah pribadi, yangmana dibuktikan dengan surat keterangan dari Kepala Desa/Lurah Setempat/Instansi tempat bekerja;
- Belum pernah menerima subsidi Pemerintah untuk pemilikan rumah;
- Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
- Menyerahkan fotokopi (SPT) Tahun PPh orang pribadi atau surat pernyataan bahwa penghasilan yang bersangkutan tidak melebihi batas penghasilan yang dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri ini.
Subsidi KPR-RSH adalah subsidi dalam penyediaan perumahan baik dalam bentuk uang muka maupun selisih bunga yang diperuntukkan untuk kelompok sasaran yang memiliki penghasilan sesuai dengan yang ditetapkan yaitu penghasilan paling banyak per bulan sebesar Rp.4.000.000,-.Â
Selain itu, ketepatan sasaran diukur dengan menilai ketepatan KPR-RSH dengan kelompok sasaran yang telah ditetapkan. Hal lain yang turut diperhatikan yakni dapat diukur berdasarkan status kepemilikan setelah mengajukan KPR-RSH rumah tersebut dihuni; tidak ditempati/kosong; atau disewakan/dikontrakkan (Padmadi, 2018).
Kelemahan yang terjai pada proses penerimaan pembeli rumah bersubsidi dikarenakan pihak developer sudah pasti akan membantu konsumen dalam proses pengajuan subsidi melalui KPR dengan tujuan perumahannya lebih cepat terjual dan memperoleh keuntunagn. Maka sasaran yang sejatinya untuk masyarakat berpenghasilan rendah menjadi sulit dijangkau.Â
Jika melihat dari pihak developer, mereka tentu akan lebih cenderung memihak kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih yakni merupakan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas dengan alasan keuntungan dan kecepatan dalam penjualan jual beli rumah.Â
Dampak dari pihak developer yang mencari keuntungan maka konsumen pengajuan KPR-RSH menjadi tidak jujur dalam memberikan informasi mengenai kondisi sebenarnya baik mengenai kepemilikan rumah sebelumnya, total penghasilan maupun informasi yang lain terhadap bank.
Bank pun juga sering terkecoh dan memvalidasi pengajuan KPR. Tujuan awal hanya diperuntukkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah menjadi salah sasaran dan hanya dikemas sebagai citra saja. Dampak nyatanya dalam penyaluran subsidi KPR-RSH masih sangat sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah, apalagi masyarakat yang tidak memiliki penghasilan yang tetap dalam setiap bulannya
Selain itu faktor tidak adanya badan pengawas juga membuat terjadinya banyak pelanggaran pemanfaatan rumah bersubsidi terjadi di hampir semua lokasi contohnya terlihat di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Jika sekilas dilihat secara administratif maka dapat dikatakan tepat sasaran, namun kondisi dilapangan banyak ditemui RSH yang tidak ditempati oleh pemilik pertama melainkan disewakan/dikontrakkan.Â
Dari hal tersebut memberi indikasi bahwa sebenarnya pemilik RSH telah memiliki tempat tinggal sebelumnya dan mereka membeli rumah subsidi hanya sebagai investasi dan kemungkinan besar mereka bukan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang seharusnya menjadi sasaran program ini.Â
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diungkapkan dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017 kinerja pada BUMN, menemukan sebanyak 5.108 unit rumah KPR bersubsidi belum dimanfaatkan debitur secara benar. Hal tersebut menunjukkan masih belum tepatnya Program Rumah Bersubsidi yang dijalankan, salah satu contohnya yakni yang termasuk di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H