Sub-CPMK 3. Sengketa Perpajakan (CPMK 2)
Sistem perpajakan Indonesia memiliki hierarki peraturan, yang diharapkan dapat menstandardisasi perpajakan secara adil di seluruh Indonesia. Namun dalam praktiknya, otoritas pajak masih dapat gagal menjalankan sistem tersebut secara optimal dan ini berpotensi menimbulkan kontroversi pajak yang diajukan oleh penggugat. Apabila sengketa pajak timbul karena kontroversi tersebut, sebagai bagian dari sistem penyelesaian sengketa, pengadilan pajak dapat menawarkan untuk memberikan penyelesaian sengketa yang adil kepada wajib pajak.
Kontroversi dalam praktik perpajakan
Sesuai dengan sistem perpajakan di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan melalui self assessment, dimana wajib pajak menghitung dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Dalam kasus tertentu, terdapat mekanisme penilaian resmi dimana otoritas pajak/Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara aktif menentukan kewajiban perpajakan wajib pajak melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP).
Konstitusi melindungi hak-hak Wajib Pajak berdasarkan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang menyebutkan: “Pajak dan pungutan wajib lainnya yang diperlukan untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Salah satu penyebab sengketa pajak adalah otoritas pajak yang terlalu berlebihan dalam menjalankan kekuasaan eksekutifnya, yang bertentangan dengan maksud dari peraturan perpajakan dan/atau hierarki perpajakan. Dengan kata lain, otoritas pajak seringkali menjalankan tugasnya hanya berdasarkan kekuasaan lembaga eksekutif dan cenderung mengabaikan peraturan perpajakan yang seharusnya berlaku sebagai landasan wajib dalam pelaksanaan perpajakan. Fenomena ini menimbulkan kontroversi perpajakan di Indonesia.
Dalam dua ringkasan putusan pengadilan pajak yang sebenarnya berikut ini, dapat dilihat bagaimana pengadilan pajak - sebagai salah satu pemain dalam sistem sengketa pajak - dapat memberikan pemulihan bagi seorang wajib pajak ketika otoritas pajak, yang secara berlebihan menerapkan kekuasaan eksekutifnya, menyebabkan kontroversi pajak seperti itu.
Contoh satu: Sengketa surat internal DJP
Berdasarkan surat internal DJP, menunjukkan bahwa kantor pajak wajib menerbitkan STP PPN atas keterlambatan penerbitan faktur pajak dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa PPN. DJP telah melakukan interpretasi terhadap landasan hukum Pasal 14 ayat (1) huruf (d) UU PPN yang berbunyi:
Contoh satu: Sengketa surat internal DJP
Berdasarkan surat internal DJP, menunjukkan bahwa kantor pajak wajib menerbitkan STP PPN atas keterlambatan penerbitan faktur pajak dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa PPN. DJP telah melakukan interpretasi terhadap landasan hukum Pasal 14 ayat (1) huruf (d) UU PPN yang berbunyi: (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: d. pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak, atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;