Mohon tunggu...
Mehaga L Ginting
Mehaga L Ginting Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa FH USU

Sosial, politik,hukum,dan HAM

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dinasti-Siapa Dia?

13 Januari 2024   12:05 Diperbarui: 13 Januari 2024   12:05 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini kita sebagai masyarakat Indonesia dihebohkan dengan isu "Politik Dinasti." Imbas dari Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan wakil presiden pada UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu.Putusan tersebut menyebutkan bahwa seseorang dapat mencalonkan diri sebagai Capres maupun Cawapres meskipun belum berusia 40 tahun dengan syarat seseorang tersebut pernah terpilih melalui pemilu baik sebagai DPR/DPRD,Gubernur,atau Walikota.

Sebenarnya,apa yang dimaksud dengan politik dinasti?

Menurut Mahkamah Konstitusi,politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terikat atau terkait dalam hubungan keluarga.Dinasti politik identik dengan kerajaan.Sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari Ayah kepada Anak agar kekuasaan akan tetap berada pada lingkaran keluarga.

Zainal Arifin Mochtar selaku pakar hukum Universitas Gadjah Mada menyebutkan bahwasannya putusan MK tersebut berdampak besar pada nama baik MK dan hukum di Indonesia."Putusan hukum itu kan sangat jarang memperlihatkan suasana kebatinan pembuat hukum.Kita sebagai publik melihatnya hanya dari alasan logisnya saja.Tapi kalau kita lihat sidangnya kemarin,itu banyak sekali suasana-suasana kebatinan yang diungkapkan.Bagaimana bisa gugatan yang sebelumnya ditolak,sedangkan gugatan yang baru masuk ini,tanggal 13 september,langsung diterima.Ada lagi soal keterlibatan ketua MK.Sejak awal ia tidak ingin mengambil keputusan karena ada konflik kepentingan,tapi untuk keputusan ini ia terlibat." ungkap Zainal.

Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwasannya MK pada dasarnya ditujukan untuk mewadahi persoalan politik agar dapat diselesaikan secara hukum dan menurut hukum.Namun,kondisi saat ini telah menunjukkan bahwasannya MK telah terpengaruh oleh politik.Hal ini semakin memperjelas kecacatan MK dalam penegakan konstitusi dan demokrasi di Indonesia.Mengapa demikian? Mari kita bahas disini.

Setelah MK mengeluarkan putusan tersebut dan menetapkannya,Walikota Solo yang sekaligus merupakan putra "MAHKOTA" presiden RI Joko Widodo langsung mencalonkan diri sebagai Cawapres dari Prabowo Subianto.Hal ini semakin memperjelas adanya upaya pembentukan dinasti politik mengingat saat itu Ketua MK,Anwar Usman merupakan paman dari Putra "MAHKOTA" tersebut.Tak sampai disitu saja,Putra "MAHKOTA" Jokowi lainnya yang awalnya tidak terjun ke dalam dunia politik mendadak diangkat sebagai ketua umum salah satu partai setelah 2 hari bergabung dalam partai tersebut.Semakin jelas pengaruh kekuasaan presiden Jokowi dalam upaya pembentukan dinasti politik ini.Alhasil partai tersebut seolah "Dikemudikan" oleh Jokowi dimana setiap program dan asas yang digunakan oleh partai ini adalah berdasarkan pada gagasan Jokowi sehingga asas mereka disebut "Jokowisme."

Tak sampai disitu saja,menantunya yang saat ini menjabat sebagai walikota Medan,juga didapuk sebagai upaya pembentukan dinasti politik.Isu tentang walikota Medan yang dipecat dari PDIP yang merupakan partai pengusungnya pun mencuat.Hal ini dikarenakan sang walikota mendeklarasikan dukungannya pada Capres Prabowo Subianto dan Cawapres Gibran Rakabuming Raka.Bukan Ganjar-Mahfud yang saat ini diusung oleh PDIP.Ternyata tak hanya Walikota Medan yang bermasalah dengan partai pengusungnya yaitu PDIP,melainkan Jokowi lah yang pertama kali mulai merenggangkan hubungannya dengan PDIP.Sehingga para "Prajuritnya" mulai ikut meninggalkan PDIP.

Hal yang semakin memperkuat upaya Jokowi dalam membentuk dinasti politik adalah ketidaknetralannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat 1 dan 2 UU No.7 Tahun 2017 Tentang pemilu dimana presiden dituntut untuk netral selama proses pemilu.Mengapa saya berani katakan bahwa Jokowi tidak netral? Karena Jokowi pernah mengatakan bahwa dirinya sengaja melakukan atau terlibat Cawe-cawe dalam pemilu 2024."Cawe-cawe untuk negara,untuk kepentingan Nasional.Saya memilih cawe-cawe dalam arti yang positif,masa tidak boleh?" ujar Jokowi saat bertemu sejumlah pimpinan media massa di istana Negara,Jakarta Pusat.

Tak sampai situ saja,sebagai presiden atau kepala Negara yang masih berada dalam masa jabatan,presiden dilarang secara terang terangan mendukung salah satu kandidat capres-cawapres.Tapi,saat ini presiden Jokowi secara terang terangan kita lihat mendukung salah satu Paslon.Hal ini ditandai dengan upaya pemasangan Putra sulungnya dengan salah satu Capres tersebut dan juga deklarasi dukungan partai yang dipimpin oleh putra bungsunya kepada Capres tersebut.

Sungguh keadaan politik yang menyedihkan dimana upaya "Kotor" dilakukan demi mendapat kekuasaan.Mulai dari merubah hukum demi kepentingan politik sampai mengkhianati partai yang selama ini telah membesarkan namanya.Sebagai mahasiswa,saya mengkritisi hal ini dan menyatakan sikap melawan terhadap upaya pembentukan dinasti politik ini.Dimana hal ini dapat merusak demokrasi di Indonesia.Mari kita lawan politik dinasti ini!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun