Angin lembut berembus meniup dan menerpa wajahku. Mataku semakin sayu dan terpejam beberapa saat. Sesekali tangan ini menepis rambut yang berkibar menerpa wajah. Menyalipkan ke tepi telinga. Kedua telapak kaki seakan digelitik oleh hangatnya pasir yang masih menyimpan hangat. Sangat menenangkan menunggu matahari yang akan berpamitan kembali ke peraduannya.
Suara ombak menerpa batu karang memecahkan kesunyian. Pantai yang sunyi dan sepi hanya beberapa nelayan yang tampak bersiap akan melaut. Pantai ini memang tak terkenal dan agak berada di sudut makanya bukan objek wisata bagi masyarakat umumnya.
Aku sengaja ke lokasi ini untuk menenangkan diri, tepatnya mungkin menghindar. Pikiran perlu merenung dengan menjawab berbagai pertanyaan dan pertimbangan yang begitu penuh dalam benakku. Logika, perasaan, entahlah apa tepatnya akan menang.
Aku terkejut dengan bunyi nada dering khas dan getaran dari saku celana joget yang kugunakan. Tangan dengan spontan merogoh dan menatap layar pipih itu, tanpa ada keinginan untuk mengangkat panggilan tersebut.
Berulang kali telpon itu dilakukan olehnya. Aku hanya diam, terpaku dan menghela napas.
Notifikasi WA masuk.
{Di mana? Ke rumahmu kosong, ada hal penting yang harus kita bicarakan.}
Balas chat atau tidak hatiku sebagian ragu, dan penasaran hal apa yang akan dibicarakan. Seharusnya tak perlu lagi ada penjelasan dan kesalahan kata separuh hatiku lagi mengingatkan.
Dia lelaki penuh pesona, akhir-akhir ini begitu intens mendekatiku. Perhatian, simpati, empati dan berbagai kelakuannya yang membuatku tersanjung dan terbuai. Hanyut dengan perasaan yang melambung. Harapan berbalur senyuman, cinta datang bagai bah, mengalir deras tak dapat kubendung. Dia serius, datang dengan melalui berbagai lintas provinsi ke rumah dan memperkenalkan diri serta mengutamakan niatnya untuk membawaku ke pelaminan. Anak-anak pun sudah mulai simpati dan membuka hati untuknya menerimanya menjadi bagian dari keluarga. Saran lainnya juga memberi masukkan, aku butuh sandaran hidup, baik secara psikis maupun materi. Dan dua hal itu ada padanya. Kriteria suami idaman itu melekat padanya. Semua orang kagum, terpana dan ikut baper akan sikap dan perlakuannya.
Aku terhempas pada kenyataan saat seorang wanita dengan suara lembut menjelaskan. Dia pria beristri dan seorang putri kecil dalam gendongannya sedang menangis. Tegakah, jika ada hati yang terluka dan tersakiti. Relakahdia di madu dan aku bahagia di atas tangis dan air matanya. Dia memohon untukku menolak suaminya. Aku terdiam, aku tak bisa menjawab. Aku egoiskah? Aku sebagai perusak rumah tangganya, apa aku akan bahagia nantinya. Bagaimana nasib anak mereka, andai itu aku yang berada pada posisi istri yang dikhianati apa aku sanggup.