Rasa lelah  menerpaku karena seharian ini melakukan perjalanan. Tidak membuat mata ini cepat mengantuk untuk terlelap. Aku membolak-balikkan badan. Tiba-tiba pikiran melayang.  Aku masih mengenang suasana kampung yang tenang serta pondok pesantren si Sodiq yang kukunjungi tadi.  Siang tadi aku iseng ikut Pak Tio-- supirku mengantar ponakannya kembali ke pondok setelah satu minggu liburan ke kotaku. Selama itu kami menjadi dekat dan aku banyak belajar dari Sodiq. Banyak ilmu serta hal baru yang aku dapat dari Sodiq. Aku menjadi tertarik tentang pelajaran agama yang selama ini anggapanku hanya angin lalu.
Sebetulnya aku belum puas jika hanya satu minggu saja kebersamaan dengan Sodiq. Rasanya aku ingin mengikuti jejaknya. Bagaimana ia begitu merdu melantunkan ayat suci yang dihafalnya dengan sistem cicil dan setor. Sodiq juga menjelaskan bahwasanya bukan hanya ketenangan tapi banyak hal baik lainnya yang mengikuti jika kita menjadi tahfiz Al-Quran.
Aku berniat esok hari akan meminta izin kepada mama. Meski sedikit ragu. Mama adalah sosok wanita karier dan pekerja keras. Semenjak Papa tiada, perusahaan diambil alih oleh Mama. Mama secara cerdas menjalankan bisnis hingga berkembang pesat. Usaha propertinya bahkan telah membuka cabang di beberapa wilayah tersebar di pulau Sumatera ini. Hal itu membuat Mama terlalu sibuk dan jarang berkomunikasi denganku. Aku remaja yang labil sekolah uring-uringan. Untung saja tidak terpengaruh hal negatif pergaulan. Beberapa waktu lagi kami akan ujian akhir. Momennya akan pas tamat sekolah menengah aku ingin jadi santri saja.
***
Pagi yang cerah, ketika kudapati Bi Sum telah selesai menyiapkan sarapan untuk kami. Aku menuju meja makan sembari menunggu Mama turun. Tak lama kemudian terlihat mama menuruni anak tangga lengkap dengan busana kantoran. Mama dengan gaya trendi berupa celana skinny pants dipadukan dengan baju body fit. Mama begitu anggun dengan sepatu tinggi dan rambut sebahu digerai yang ujungnya berwarna pirang. Mama seperti lebih muda dibanding usia sebenarnya. Tas selempang berwarna coklat susu berada sisi kirinya.
"Hai, handsome. Morning my son." Mama tersenyum memegang puncak kepalaku. Setelah itu bibirnya yang berpoles warna pink mengkilap itu mencium keningku dengan cepat.
"Morning, breakfast?" seruku balas menyapa penuh semangat dengan senyum secerah mentari.
"Oh, sorry. Mama buru-buru. Telat ke kantor. Sarapan sendiri ya. Nanti langsung sekolah diantar  Pak Tio. Ok, Honey. Bye!" Mama mengecup keningku sekali lagi lalu berlalu dengan tergesa-gesa.
Aku menghela napas. Selalu begitu, sulit bagi kami menyatukan waktu untuk bercengkrama. Malam ketika aku sudah terbuai dalam mimpi barulah Mama pulang ke rumah. Bagaimana aku akan mengutarakan keinginanku? Ah, aku kesepian. Andai ada Sodiq aku bisa bercerita dan mengikutinya bangun subuh dan salat berjamaah dengannya menuju masjid terdekat. Â Hal ini justru membuat tekadku bulat. Memilih rela terikat aturan pondok pesantren. Pola kehidupan teratur dan menenangkan daripada kesepian tanpa arah seperti ini.
***