Oleh : Megawati Sorek
Wajar bila saat ini, ku iri pada kalian
Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan
Â
Mungkin sejenak dapat aku lupakan
Dengan minuman keras  yang saat ini ku genggam
Atau menggoreskan kaca di lenganku
Apapun kan kulakukan , kuingin lupakan
"Last Child_Diary Depresiku"
Alunan lagu "Diary Depresiku" Â dari Last Child di kamarku kalah dengan suara bising yang terdengar dari arah dapur. Â Bunyi benda yang berjatuhan bercampur dengan kata-kata makian. Â Posisi kamarku yang hanya terhalang sekat tembok, sehingga suara itu terdengar sangat jelas. Berhasil membuatku terganggu. Mataku sebenarnya masih terasa berat karena semalaman terjaga. Kegaduhan itu pasti berasal dari papa dan mamaku yang mengulang pertengkaran. Entah apa yang mereka ributkan lagi. Bukankah minggu lalu perkelahian mereka berakhir dengan kesepakatan akan mengurus perceraian secepatnya.
Aku tak peduli, dalam pandanganku mereka sama-sama egois. Sangat jarang memberikan perhatian. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Limpahan materi ternyata tak membuatku bahagia, hati terasa hampa dengan kasih sayang. Â Semenjak mereka jarang di rumah serta jika bertemu selalu ribut, tentunya membuat berdiam di rumah terasa tak nyaman. Sekolahku jadi uring-uringan. Akhirnya aku ikut berkumpul dengan Bobi dan gengnya. Mereka sangat bebas dan terlihat santai menghadapi dunia.
Tubuhku bangkit dengan malas, aku harus keluar. Muak mendengar keriuhan mereka yang berkelahi tak habis-habisnya. Aku melirik jam dinding yang tertempel di atas pintu telah menunjukkan pukul lima sore. Meraih jaket hoodie yang tergantung di belakang pintu, mengenakannya dengan cepat. Tak lupa ransel yang selalu menemaniku terpasang manis di punggung. Tanpa berpamitan, aku pun pergi. Keluar!
Aku kendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi membelah jalanan. Suara erungan kenalpot berbunyi bagai petir mengiringi. Memekakkan telinga tentunya. Kepulan asap juga membayangi. Namun, aku menikmatinya. Banyak pengemudi lain yang terlihat mengumpat, dengan mengklason bahkan ada yang mengeluarkan kepalanya dari mobilnya, terlihat dari kaca spionku. Pasalnya beberapa kali aku menyalip mobil dengan ugal-ugalan. Keinginanku hanya satu agar segera sampai ke rumah Bobi, markas kami membuang rasa kekalutan dan kepedihan.
 Kediaman Bobi berupa rumah tunggal yang kontraknya bersama dua teman lainnya, yaitu Aben, dan Yudi. Mereka bertiga adalah anak rantau dari daerah yang memilih untuk bersekolah di kota. Kehidupan tergolong dari kalangan ekonomi menengah. Sambutan yang sangat antusias ketika aku menjadi bagian dari mereka. Karena kehidupanku lebih mapan, selain itu aku bisa sangat royal mentraktir makan.
Ketika sampai, kudapati Bobi, Aben, dan Yudi sedang duduk di ruang tamu. Masing-masing memegang handphone, khusyuk dengan game onlinenya. Sementara di atas meja persegi panjang di hadapan mereka berserakkan botol minuman mineral, kulit kacang serta secangkir gelas berukuran besar berisi kopi, sebungkus rokok dan korek di atasnya. Mengempaskan bokongku duduk selonjoran di antara mereka. Mereka hanya melihat sekilas.
"Woy! Gue bosan. Jalan, yuk!" ajakku penuh semangat. Sembari mengguyur tenggorokan  dengan kopi hitam yang telah dingin.
"Lagi seru, nih!" tolak Aben sambil mengibas rambutnya yang jatuh ke keningnya.
"Ada barang baru, mau coba nggak lo? Lebih bagus dari kemaren." Bobi meletakkan ponselnya, menatap padaku dengan wajah semringah.
"Mana?" tanyaku cepat bersemangat. Senyumanku mengembang.
"Contoh barang ada, bawa sini!" Bobi memberi kode pada Aben dan Yudi dengan menyenggol siku salah satu dari mereka, dan mengarahkan pandangannya ke kamar. Aben dan Yudi beranjak menuju tempat penyimpanan. Mereka menyiapkan alat-alat, mengerjakan dan mengatur, aku hanya diam memperhatikan dengan saksama.
"Cobain, ini, harga memang lebih agak mahal!" Bobi berucap. Mereka tersungging miring, memberikan suntik bagianku.
Mengikuti intruksi cara memakai dari mereka, perlahan aku merasakan reaksi sensasi tenang, terbang dengan damai. Pikiran kosong menerawang mengawan jauh, terasa nikmat. Indah, sangat indah dan aku kesulitan untuk menjelaskannya. Pandanganku pun seperti menghilang.
***
Sejak saat itu aku semakin hanyut, terlena, tentunya merasa cukup bahagia. Dulu aku pernah merasa iri dengan hidup orang lain. Berbahagialah seorang anak dengan memiliki orang tua lengkap yang membersamai. Sekarang aku tak ambil pusing. Hidup yang kujalani hanya kumpul-kumpul, sediakan uang yang banyak selanjutnya bermanja dengan barang haram itu. Kedua orang tuaku telah resmi berpisah, telah membagi harta gono-gini. Bahkan kini mungkin disibukkan dengan jadwal berkencan.
Pagi Minggu yang cerah, cahaya matahari yang mentereng. Menembus di sela-sela tirai tipis di kamarku. Hari ini aku ada jadwal janji kumpul di markas, apalagi kalau bukan untuk memenuhi candu kami. Ketika akan bersiap, selesai mandi aku merasa keringat dingin mengucur deras, tubuhku bergetar, tepatnya mengigil seperti orang yang kedinginan. Kepala terasa berputar dan sedikit mual. Sedikit susah payah mengenakan pakaian dengan kondisi seperti itu. Sial, sakauku kambuh.Â
Tak bisakah menunggu sebentar! Ketergantungan ini mendesakku. Memang terkadang aku merasa bodoh, hidup seperti tak berguna. Namun, aku juga begitu terbuai, bahkan seakan besar seperti Tuhan, Â jika putau itu menyentuh dan menembus kulit.
Gigiku bergemeletuk , tubuh yang semula berdiri melorot ke bawah, untungnya  posisi menyandar ke dinding. Mata berulang kali mengerjap berupaya untuk tetap dalam kesadaran. Kedua tangan saling menggengam. Usahaku sia-sia tenaga  ini seperti terkuras, kelelahan. Jantung berdetak lebih laju, otot terasa kejang. Mencoba menghirup oksigen sekuat tenaga berharap pernapasan kembali stabil.  Sungguh rasa yang membuat menderita dan tersiksa.
Aku menuju meja cermin dengan tertatih, mengambil pisau cukur lalu membuka siletnya. Mengiris lengan sendiri dan menekan kuat irisannya. Darah yang keluar mengeluarkan aroma amis bercampur putau. Menjilatinya lalu menikmatinya. Menjilat lagi dan lagi, harum. Seperti ikan hiu yang haus darah begitulah gambaranku saat ini, mengerikan!
"Den, Den lagi ngapain? Tangan Den berdarah, Den Alex mau bunuh diri!" Terdengar suara teriakan Bik Sumi. Aku menoleh sekilas, dalam pandanganku yang kabur kulihat dia memasuki kamar membawa susu hangat dan sepiring nasi goreng pada nampan yang dipegangnya. Cepat ia meletakkan  sarapan tersebut ke meja, bergegas menghampiriku yang telah tertunduk lagi menghisap pergelangan lengan. Samar pandangan mataku terlihat perlahan-lahan mulai jernih, aku tersenyum kecut ke arahnya.
"Den, kenapa Den? sakit ya? Bibik telpon Nyonya dulu, Den," bergetar suara wanita paruh baya yang telah lama bekerja di rumah ini, wajahnya menyiratkan kecemasan. Aku hanya mematung, merasakan tulang-tulang tubuhku yang ngilu, mengantuk hebat serasa menyerang. Bik Sumi bergegas keluar kamar. Sekian menit kembali lagi dengan membawa kotak P3K. Aku pun menutup mata, tertidur.
Sentuhan tangan pada pipi terasa lembut membelai, membuatku perlahan membuka mata. Terlihat wanita yang telah melahirkanku memandangi dengan derai air mata menghiasi pipinya. Menggunakan bandana berwarna menyala di atas kepalanya senada dengan warna baju yang ia kenakan. Masih terlihat modis dan cantik di usianya yang tak muda lagi.
"Maafkan, Mama, Nak," lirihnya. "Mama menyesal, menjadi orang tua yang tak memperhatikanmu lagi, hingga dirimu terjerat menjadi pemakai narkoba, Nak," ucapnya dengan sendu mendayu. Di belakang Mama yang bersimpuh di sampingku, berdiri seorang pria dewasa memandangiku dengan tatapan mata yang teduh. Aku melihatnya lalu ke wajah Mama dengan pandangan dengan pertanyaan --siapa dia?
"Ini Dokter, Om Antoni, yang akan merawat dan membimbingmu nanti di panti rehabilitasi, Nak," Mama menjelaskan seakan mengerti dengan penasaranku. Lelaki berwajah klimis itu menampilkan senyuman ramah.
Mama memelukku dengan erat, tangisannya semakin kuat membuat tubuhnya terguncang. Aku pun balas memeluknya. Melingkarkan kedua tangan ke punggungnya. Luka di pergelangan tanganku sudah beperban rupanya. Timbul rasa penyesalan yang kurasakan. Mengapa aku sampai menghancurkan hidupku dan menjadikan narkoba sebagai pelarian.
"Mama mohon, Nak, bulatkan tekadmu untuk lepas, Mama janji akan selalu berada di sisimu dan meninggalkan grup sosialita Mama," Mama berucap seraya melonggarkan pelukannya, membingkai wajahku dengan kedua tangannya. Matanya yang merah dan sembap menatapku dengan harapan besar.
Aku menganggukkan kepala tanda setuju dengan mantap. Secarik senyuman kuterbitkan. Mama pun ikut tersenyum. Kembali kami berpelukan.
~
Bionarasi
Megawati Sorek  penulis buku solo "Bu Guru, I Love You" dan kumcer "Entahlah" serta buku antologi yang telah mencapai 50-an lebih. Orangnya bisa oleng gitulah. Ngalur ngidul ngawur kagak jelas, hehehe.
Jejaknya bisa dilacak di akun Instagramnya yaitu #bundaaliqha. Kicauan serta statusnya terselip diakun aplikasi biru milik Mark Zuckerberg Facebook dengan nama Ayue Mega Bunda Aliqha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H