Setelah salat Subuh terdengar gema takbir bersahut-sahutan. Hari dinanti itu penuh kemenangan begitu syahdu. Aku hanya berberes sedikit saja, karena telah kucicil sebelumnya.  Suami dan anak-anakku sudah memakai  pakaian terbaik, sementara aku masih berdiri di depan cermin. Sudah menjadi tradisi sebelum melangkahkan kaki menuju masjid kami akan melakukan sungkeman.
Dadaku terasa sesak, ada nyeri di sebelah kiri. Lebaran kali ini begitu berbeda. Â Mataku menghangat karena derai air mata yang tak dapat kutahan. Lintasan kenangan masa lalu seakan-akan seperti rol film yang berputar di benakku.Â
Mak, sosok yang kurindukan.  Sosok wanita pintu surgaku  itu telah berpulang setengah tahun yang lalu. Rasanya baru kemarin aku bersimpuh. Memohon restu ampunan serta merebahkan kepalaku di pangkuannya, terasa damai. Menghidu aroma khas Mak dan merasakan belaian jemarinya di kepala.  Tempatku berkeluh kesah, yang selalu memberi nasihat dan semangat menjalani kehidupan.Â
Kasih sayang tulusnya selama ini membersamai hidup belum terbalaskan. Rindu ini begitu membuncah, dan menyakitkan, andai raga itu masih di sini inginku memeluk dan mendekapnya lama. Aku merasa belum puas berbakti kepadanya.Â
Ada begitu banyak sesal karena merasa belum mampu membahagiakan beliau yang menjadi janda sejak muda. Â Sering aku berpesan kepada rekan atau siapa saja agar tidak menyia-nyiakan waktu jika orang tua kita masih hidup. Berbaktilah sepenuh jiwa, karena rindu yang teramat menyiksa itu adalah kerinduan pada raga yang tak lagi ada.
"Ma, ayo, kita berangkat." Suara bariton Mas Adi mengejutkanku.
"I-ya, Pa," Aku menoleh dan mencoba tersenyum.
"Ma, Mama kenapa?" Ia mendekatiku dan menelisik wajahku. "Mama, nangis?"
"Mama rindu Mak, Pa." Aku terisak, kali ini sampai bahuku terguncang-guncang.
"Sudah, sudah, ikhlaskan ya, yang penting, doa terus kita alirkan, semoga Mak diampuni dosa dan ditempatkan di surganya  Allah" Lelaki yang telah menikahiku selama 15 tahun itu merangkul dan membawaku keluar kamar.