Aku tertegun di ambang pintu kelas. Mataku mengitari deretan bangku siswa yang sudah duduk rapi, dan terhenti pada kursi di sudut  dinding, paling belakang. Kosong, hanya ada seorang siswa di sebelahnya. Bangku yang biasa diduduki oleh murid yang bernama Sania.  Gadis kecil yang sering berkepang dua, berparas manis dengan  mata bulat. Aku menghela napas, Sania absen lagi hari ini. Terhitung telah tujuh hari ia tak masuk dan tanpa berita, sudah beberapa kali aku mencoba menghubungi mama Sania--Maya. Ponselnya tidak aktif dan informasi dari siswa lainnya, katanya rumah Sania terlihat  kosong.
Maya adalah sahabat dekatku saat kami berseragam abu-abu. Setelah tamat, ia langsung menikah muda, terdengar desas-desus ia telah telanjur berbadan dua. Berbeda denganku yang lebih memilih melanjutkan kuliah ke provinsi dan berhasil meraih mimpi menjadi guru, tetapi sayangnya sampai saat menginjak usia yang ke-35 tahun, aku belum menemukan jodoh, tepatnya pengganti sosok pria yang pernah menggoreskan luka di hati. Setelah selesai kuliah aku pun kembali ke kampung, mengabdikan diri dan setelah sepuluh tahun berlalu, anak Maya menjadi muridku.
Rasanya baru kemarin, Sania terlihat duduk di situ tersenyum mengembang. Masih segar  dalam ingatan, dia menulis dan bercanda dengan teman-temannya yang lain. Di hatiku, Sania memang memiliki tempat spesial. Aku sering memperhatikan tingkah polahnya karena wajahnya sangat mirip dengan seseorang. Selain itu, Sania adalah murid yang terbilang kategori cerdas. Selalu langganan juara kelas. Sikapnya juga selalu ceria. Ia banyak memiliki teman,  sifatnya yang tidak sombong dan mudah bergaul makin membuat ia disenangi.
Setelah masuk awal semester genap dan usai  liburan. Sania terlihat berubah. Sebagai wali kelasnya aku menyadari ada suatu hal yang terjadi padanya. Ia menjadi murung dan lebih pendiam. Dulu ia pernah berduka karena kehilangan sang ayah, aku rela bersusah payah membujuk dan memberikan dorongan semangat pada anak itu. Dia sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Apa mungkin kali ini ia telah mengalami pubertas? Mengingat zaman sekarang perkembangan hormon sangat cepat, bahkan banyak teman sekelas lainnya atau tingkat empat sudah datang bulan. Sebagai guru wali kelas, aku memang mendata hal tersebut. Untuk tindak lanjut akan kuarahkan untuk berhati-hati bergaul dan mengajari cara mandi bersih wajibnya dan mewanti-wanti tentang ibadah wajib yang tak boleh dilalaikan lagi. Terkadang aku sedih, ada beberapa wali murid yang tidak begitu peduli dengan perkembangan anaknya sendiri.
Saat jam istirahat, sengaja aku memanggilnya untuk ke kantor, ia duduk di depan meja kerja.
"Sania sedih, Bu," jawabnya pelan ketika perihal perubahan sikapnya kutanyakan.
"Kalau, Ibu boleh tahu, kenapa Sania sedih? Apa yang bisa Ibu bantu?" tanyaku sembari meraih tangan anak tersebut.
"Mama akan menikah lagi." Sania mulai meneteskan air mata.
Aku mengelus kedua pipinya, menghapus jejak air mata pada gadis kecil yang sangat kusayangi itu. Aku mengerti apa yang dirasakannya, setelah beberapa tahun menjadi yatim kini harus bersiap menerima sosok penganti ayahnya. Maya tak pernah cerita tentang ini, mungkin karena kami tidak terlalu dekat lagi.
Setelah mengetahui hal tersebut, aku berencana untuk berbicara dengan Maya. Esoknya belum sempat hal itu aku lakukan, Sania dan Maya sudah pergi tanpa berita, membuat aku menjadi kepikiran, ada apa gerangan yang terjadi?