"Hati-hati, Pir!" protes penumpang. Terdengar suara sosok pria berbaju kaos berkerah yang sedang berdiri menampilkan wajah bengis.
Suasana riuh seperti suara-suara lebah tidak begitu jelas. Karena hampir semuanya seperti mengerutu mengeluarkan sumpah serapah.
"Kenapa Lu? Ngantuk? Ya udah gantian, sini!" Si Amat bersiap berdiri menganti posisiku.
"Masam aja muka tu kutengok dari tadi pagi?"ucapnya sembari mulai menjalankan bus.
Aku hanya diam tertunduk. Sakit kepala menyerang. Ke rumah istri sah, berantem karena ia mulai curiga dengan tindak tandukku yang mulai berubah. Ke rumah istri kedua juga ribut karena ia menadah tangan lima ratus ribu harus tersedia dengan segera untuk tagihan arisannya yang baru dimulai.
"Pusing aku! Kelahi terus di rumah!"
"Tu kan, apa gue bilang. Elu sih nurutin hawa nafsu aja, mo poligami juga!" cetusnya dengan senyum mencebik dan mengelengkan kepalanya.
"Selesaikan masalah yang telah Lo mulai. Pesan gue satu lagi ni, Nton. Ketika Elo bawa bus ada tanggung jawab berat, nyawa penumpang prioritas utama, konsentrasi penuh mengendarai!"
Aku mengangguk tanda setuju, walau perasaan kalut masih melanda. Pekerjaan yang kulakukan tak boleh lalai. Karena ada jiwa yang harus  kuantar ke alamat tujuan dengan selamat. Aku harus profesional sebagai orang yang hidup di atas roda, menghabiskan waktu di jalananan, walau mungkin  akan sial dalam hidup rumah tangga karena ulahku sendiri. Tembang legendaris P.Ramlee dilantunkan ulang oleh band Ahmat Dhani yang berjudul 'Madu Tiga' mengalun di dalam bus. Aku tersindir!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H