Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nasib Senja Hari

26 Februari 2023   20:26 Diperbarui: 26 Februari 2023   20:54 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petang telah datang, semburat cahaya kuning keemasan pada ufuk Barat. Mentari telah pun  ingin pamit untuk kembali ke peraduan. Angin berembus dengan sapai-sapai. Aku berjalan gontai menuju pulang ke rumah. Segera beristirahat dan tidur setelah lelah seharian berkeliling.

Hal yang biasa aku lakukan. Semenjak hidup tanpa anak lagi aku bisa lebih bebas. Dulunya sering mencari makan ke sana-sini  menghidupi tangungan. Kini, mereka telah mandiri. Aku pun bebas, sesuka hati jika ingin berjalan wara-wiri. Tentunya terus tebar pesona. Pasangan dengan mudah akan kudapatkan. Julukanku memang cocok dengan tubuhku. Si Montok.

Aku terkejut, ketika menoleh ke belakang. Dua orang pemuda mengendap-endap di belakangku. Satu bertubuh kurus sedangkan satu lagi bertubuh gempal. Mereka berdua memakai baju kaos berwarna hitam. Berpadu dengan celana pendek saja. O, iya baru kuingat tampang mereka tidak asing. Mereka adalah preman kampung. Sampah masyarakat yang suka membuat onar. Instingku segera bekerja, tanda bahaya tertangkap sinyal. Bergegas aku mengambil langkah seribu. Dari gelagatnya sepertinya ingin berniat jahat. Aku lari seperti orang yang kesetanan. Ke kanan-kiri menghindari, alur lari terkadang di jalan semenisasi, terkadang ke pinggir jalan, pokoknya tidak beraturan. Bahkan berputar-putar.

Jangan tanya sakitnya kaki ini, karena beberapa kali menginjak batu, duri, kekayuan ranting yang patah. Napasku pun menjadi ngos-ngosan, andai saja bisa terbang tinggi seperti burung pasti sudah aku lakukan. Beberapa kali dengan cepat aku memindai tempat yang lebih tinggi. Biar para pengejar kewalahan.

Suasana semakin gelap, cahaya pun mulai temaram. Kelelahan sudah pun mendera. Pandanganku pun mulai kabur. Ah, beginilah jika senja mulai beranjak, menyebalkan bukan? Lariku tidak seoleng tadi. Akhirnya, nahas! Tangan dari pemuda yang bertubuh kurus itu berhasil meraih belakangku. Secara cepat tangannya yang satu lagi menahan leherku. Temannya yang bertubuh gendut  cepat membantu mengikat kedua kakiku. Mereka tak ada belas kasihan. Tidakkah iba dengan jeritanku yang menghiba, pilu.

Mataku yang rabun kini berlinang air mata. Dalam sekapan tak mampu melawan. Pertolongan pun tiada datang. Suasana sunyi sangat mendukung penyergapan oleh dua pemuda ini dan bakalan tidak ada yang mampu mengendusnya.

Aku entah dibawa kemana? Aku pun tak tahu. Usahaku terus meronta. Meski aku sadar itu sia-sia. Bahkan membuatku makin lemas. Dalam setengah sadar dan hanya bayangan samar. Sesosok pemuda hanya bersinglet menyongsong kedatangan kami.

"Wah, dapat juga, kita apain nih, Si Montok?" tanyanya dengan ekpresi dan suara penuh semangat.

"Kita panggang sajalah, kayu arangnya udah gue siapin, enak nih, udah lama kita tidak makan ayam enak!" seru si gempal yang berada di samping pemuda kurus yang sedang mengendongku.

~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun