Berprofesi menjadi dosen bisa dibilang 'asik gak asik'. Jika Anda menyukai mengajar dan berbicara di depan banyak orang serta memiliki kesabaran ekstra, maka Saya yakin menjadi tenaga pengajar merupakan pilihan yang tepat. Sebaliknya, jika Anda tidak menikmati kondisi harus banyak bicara, menerangkan ini itu, menjelaskan kembali disaat audience belum paham materi yang Anda sampaikan, dan lagi, dan lagi, dan menjelaskan lagi, dengan kesabaran tingkat dewa, maka jelas menjadi tenaga pengajar bukan dunia Anda. Sebelum Saya menjadi dosen, pekerjaan yang Saya geluti adalah dunia kantor. Saya bekerja di salah satu Perusahaan Swasta Terbaik di Indonesia, sebut saja di salah satu perusahaan groupnya P.T. Astra International Tbk. Dunia kerja dimana 24 jam hanya terasa seperti 5 jam, jam makan yang suka gak jelas, berurusan dengan deadline, target yang harus dipenuhi, komplain dan meeting yang harus bisa dihandle bersamaan, dan segala 'riweh'nya dunia yang dulu Saya geluti selama lebih dari 3th. Tentunya semua itu sebanding dengan income dan benefit yang didapat. Life goes on and on, and then I realize, I want to spend more and more time with my family. Saya sadar tidak dapat duduk di antara dua kursi. Beralih profesi menjadi pilihan yang tepat, tentunya suami sangat mendukung keputusan Saya. (Seperti yang dia impikan, saat pulang kerja istri seharusnya sudah di rumah bersama dengan sang buah hati tercinta). Dan sudah hampir 2th Saya menjadi dosen, memang masih terlalu singkat untuk mengatakan Saya mahir mengajar. Satu hal yang pasti, Saya teramat sangat menyukai profesi yang satu ini. Nikmatnya belajar, membuat slide yang 'catchy' dan mudah dipahami, membuat soal ujian dan juga puyeng mengerjakannya, mengecek nilai ujian mahasiswa-mahasiswi yang juga memerlukan waktu tidak sebentar (andaikata semua murid memiliki jenis tulisan layaknya font Comic Sans atau Times New Roman) tentunya tidak akan sulit bagi Saya dalam menyelesaikannya dengan cepat. Sering sekali alis Saya berdiri sebelah, mata memicing beberapa menit (hingga terkadang Alena anak Saya berusaha mengikuti gerakan Ibunya), sampai berpikir layaknya fortune teller untuk sekedar memahami tulisan yang dibuat murid Saya (some of them were born to be a doctor with that messy hand writing, haha). Memeriksa hasil ujian bisa dibilang antara membosankan dan juga menyenangkan. Bosan jika yang diperiksa nilainya do...re...mi...fa semua. Menyenangkan saat mendapati murid dengan hasil 100% benar!. Jika wajah Saya direkam saat memeriksa hasil ujian pasti akan ada gambar yang lucu dengan berbagai ekspresi unik, kwkw. Tapi satu hal yang pasti 'Saya tetap manis kan'. (sekali-kali boleh ya narsis memuji diri sendiri dan tulisannya pun di bold, haha). Kalau ngomongin soal mahasiswa-mahasiswi. Mereka layaknya anak-anak kita, unik dengan karakternya masing-masing. Ada yang dilahirkan memang dengan kecakapan lebih tinggi di bidang science, olahraga, sosial, dan lainnya. Tapi sejauh Saya mengajar mata kuliah yang satu ini, hanya segelintir murid yang menyukai, bahkan Saya belum menemukan murid yang mengatakan deeply in love dengan mata kuliah yang Saya ampu ini. Tapi yang mengatakan benci mata kuliah ini hampir 99.9%. Setiap Saya tanya, "Kenapa sih kalian gak suka mata kuliah XXXX ini?", mereka serentak dengan suara 5 oktaf plus ditambah toa akan menjawab "SUSAAAAH SIH BUUUU". NGEK NGOOOK! Lemes deh yang ngajar kalau muridnya aja ciut duluan. Bisakah Anda tebak mata kuliah apa itu? Jika Anda menjawab 'Bahasa Indonesia', jelas jawaban yang salah. Mungkin memang bukan pelajaran favorit murid, namun amat jarang yang mengatakan "Saya benci pelajaran Bahasa Indonesia". Dan jika tebakan Anda adalah 'Matematika', that's the right answer. Saya kebetulan mengajar pelajaran 'Matematika Ekonomi'. Tidak hanya murid-murid yang menjauhinya, pada saat Saya berkumpul dengan kawan lamapun saat mereka menanyakan "Kamu ngajar apa Meg?", dan saat keluar dua kata itu, teman-teman Saya langsung berkata "Busyeeet dah! Baru dengernya gw langsung gatel-gatel ne" atau ada yang berkomentar, "Gak ada pelajaran laen apa? Kenapa masih ada sih tu mata kuliahnya?" atau malah ada yang langsung diem sambil bergumam "Gw dulu gak lulus berkali-kali mata kuliah itu. Dendam kesumat tiap denger! Ampe ngulang 4x coba, mentok juga dapat C biar bisa lulus". Yah, kesian jadi Matematika Ekonomi, dia harus menanggung sejuta kebencian dari banyak individu. (Sabar ya Mat). Saat memeriksa ujian muridlah yang terkadang menjadi lahan hiburan gratis bagi Saya. Serta merupakan lahan pijat dada gratis bagi Saya pula. Eits, jangan bercabang dulu ni pikirannya. Maksudnya saat menyaksikan beberapa dari mereka hanya menuliskan nama saja tanpa satu jawabanpun, Saya akan urut dada. Saat mereka hanya menulis kembali soalnya di lembar jawab tanpa ada jawabannya sama sekali, Saya lagi-lagi urut dada. Saat hanya ada dua buah kalimat berupa "diketahui" dan "ditanya" saja, Saya lagi dan lagi urut dada. Namun ada juga beberapa strategi 'blue ocean' alias lain dari yang lain yang dilakukan beberapa murid Saya. Berusaha menjadi unik dan kiranya dapat menggugah sisi empati hati Saya. Beberapa rayuan dilancarkan murid-murid di lembar jawaban ujian mereka. Apakah Anda pernah melakukannya juga, hehe?. Berikut beberapa koleksi murid Saya yang berusaha 'merayu' karena mentoknya mereka mengerjakan ujian Matematika Ekonominya. Mari turun ke bawah ini : 1. Gambar diatas adalah salah satu tulisan dari murid Saya yang sudah 'hopeless' akan ujiannya. Kalimat rayuan dilancarkan agar empati dari dosennya keluar. Herannya, bukan mental 'berjuang' yang dimilikinya, melainkan mental 'meminta' dan senjata ingin membahagiakan orang tua yang dipakai. Andaikata Saya berikan ke orang tuanya, jelas akan merasa malu mereka. Tipikal murid seperti ini biasanya: jarang masuk kelas, tugas hampir gak pernah buat (kalau buatpun nyontek temennya dengan hadirnya beberapa angka ajaib, karena dia malas menulis secara lengkap), dan dipastikan ujian hanya dilakukan dengan kepala penuh dengan doa "semoga nantinya pas ujian tiba-tiba otak ini bisa ngerjain semuanya". Wiiih! Dukun aja kalau dibayar berpuluh juta diminta jadi calo ujian Matematika, Saya rasa akan menolaknya, hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H